Ibarat halaman rumah, dunia maya kita saat ini sudah sangat kotor. Tulisan dan berita-berita jorok sudah terlalu sering membuat kewarasan kita tertohok. Kecenderungan untuk menebar berita tanpa saring makin hari makin terdengar nyaring. Beberapa pihak yang tidak jelas mukanya terang-terangan menebar wacana hanya agar kita lupa siapa kita yang sebenarnya. Nyaris tidak ada sedikitpun ajakan untuk besikap teduah, karena kita terus-menerus dijejali dengan ajakan untuk membunuh. Baik membunuh kewarasan maupun membunuh sesama yang diklaim tidak akan merasakan dinginnya ‘ac’ surga. Ah,,,
Agama menjadi ‘jualan’ yang paling sering digunakan untuk mengumbar pikiran jorok itu. Dalil-dalil agama, yang kebanyakan masih ditampilkan ‘mentah’ dalam bahasa Arab, dihamburkan hanya untuk membuat kita percaya bahwa perilaku urakan memang memiliki pembenaran dalam agama. sebagian dari kita yang tidak teliti, harus hati-hati. Karena yang mereka sebut ‘berita’ itu tak lebih dari setumpuk dusta yang mereka sajikan dengan tergesa-gesa. Jangan ditanya tentang sisi jurnalismenya, apa peduli mereka? Padahal sisi ini penting. Kita patut (kalau saya sih harus) tidak percaya begitu saja dengan berita yang digelontorkan tanpa mempertimbangkan sisi jurnalismenya.
Badrus Sholeh, seorang PHD candidate dari Deakin University, yang saya temui beberapa waktu yang lalu di sela-sela sebuah acara di kampus UIN Jakarta, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya melindungi warga masyarakat dari pemberitaan sesat terutama yang ‘mangkal’ di dunia maya ini dengan memperketat aturan tentang penggunaan dunia maya. Menutup paksa situs-situs yang menebar propaganda dan berita yang tak jelas juntrungan-nya dianggapnya perlu dilakukan. Bukan saja karena apa yang mereka tebarkan tidak berdasar pada kebenaran, dan tidak pula berorientasi pada kebaikan, tetapi situs-situs yang seolah dikendalikan oleh memedi ini –karena kita nyaris tidak pernah tahu siapa yang menjalankan situs-situs tersebut—ini menyalahi etika dan standar jurnalisme.
Mengapa jurnalisme penting? Tentu karena dalam kode etik dan standar jurnalisme terdapat separangkat ketentuan yang mengatur sekaligus menuntun agar berita atau wacana yang disampaikan tidak melenceng dari kebenaran. Sehingga setiap orang yang mengkonsumsi hasil karya jurnalisme menjadi tercerahkan.
Selain itu jurnalisme juga menuntun kita untuk merangkai berita yang akan kita sampaikan agar tetap enak dibaca dan mudah dimengerti. Hal ini meliputi pemilihan diksi, akurasi data, serta penyusunan kata per kata. Sementara berita yang hanya dipenuhi dengan tumpukan dusta, pemilihan kata yang cenderung kasar, akan menyisakan otak kita dengan kemarahan dan kegilaan.
Di satu sisi, menutup paksa semua situs non-jurnalisme merupakan angin segar bagi kita yang telah begitu muak dengan situs berisi kata-kata kasar, namun di sisi lain penutupan ini juga membatasi semangat belajar kita, karena jika harus menunggu untuk menjadi ahli terlebih dulu agar bisa nulis di dunia maya, tidak semua orang bisa ‘sabar’ menjalani prosesnya.
Namun terlepas dari semua itu, ‘nasib’ sebuah tulisan atau berita yang bertebaran di dunia maya ada di tangan kita. Kita yang membaca dan menentukan, akan diapakan berita tersebut; dipercayai begitu saja atau perlu sedikit waktu untuk mencerna isinya. Hal sederhana yang perlu kita lakukan hanyalah rileks saja, tidak mudah terpancing emosi meski berita yang kita baca berisi kata-kata yang seolah mengoyak hati. Karena biasanya, ketika suatu berita ditulis dengan kata-kata yang begitu membara –bukannya sederhana dan apa adanya–, makin meragukan pula kebenaran isinya.
Stay awake!