Dalam Membina Napiter, Pihak Lapas Harus Tahu Psikologis Napiter Tersebut

Jakarta – Menangani ataupun memberikan pembinaan terhadap narapidana kasus tindak pidana terorise (napiter) yang sedang menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tentunya tidak sama seperti menangani narapidana kasus kriminal lainnya. Tentunya dibutuhkan cara-cara tersendiri dalam menangani napiter tersebut.

Hal tersebut dikatakan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si dalam paparannya saat menjadi narasumber dalam acara Rapar Koordinasi (Rakor) Pengolahan Data Identifikasi dan Persiapan Rehabilitasi Narapidana Tindak Pidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara tahun 2018 di Jakarta, Rabu (16/5/2018).

Acara rakor tersebut digelar oleh Subdit Bina Dalam Pemasyarakatan, Direktorat Deradikalisasi, Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terhadap para Kepala Lapas/Rutan, pamong Lapas yang mana di Lapasnya terdapat napiter dan perwakilan dari Direktorat Hjenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).

“Menagani napiter itu tidak mudah, beda dengan napi kasus kriminal lainnya. Karena ini masalah ideologi. Yang ada dala mpikiran mereka adalah untuk membela sesuatu yang diyakini benar versi mereka, dan semua yang luar diri mereka adalah thoghut dan mesti dimusnahkan dan sampai pada sebuah kondisi radikal yang paling tertinggi,” ujar Prof. Hamdi Muluk.

Dijelaskannya, Lapas harus punya kemampuan secara menyeluruh, mulai dari pengetahuan bagaimana harus melakukan proses assesment, proses identifikasi. Pihak Lapas harus mengentahuo, siapa napiter tersebut baik bagaimana kondisi radikalismenya atau tingkat radikalnya.

“Terhadap napi tersebut pihak Lapas harus tahu apa yang napi tersebut pikirkan, apa yang dia rasakan. Apakah dia masih berpikir dia mau jihad atau tidak ada lagi yang dipikirkan selain jihad, atau mungkin dia mulai sedikit ada perubahan sikap, perubahan pola pikir sedikit, mungkin emosinya sudah mulai turun,” katanya.

Untuk itulah menurutnya di dalam setiap Lapas ada Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa melakukan proses identifikasi atau proses asaesment terhadap napiter tersebut. Dalam melakukan identifikasi tersebut metodologinya bisa dilakuakn banyak cara seperti pengamatan, lewat komunikasi dialog, wawancara atau dia mau menghasilkan memberikan alat ukur kuisioner dan sebagainya Sehingga nantinya setelah mengetahui masing masing kondisi masing-masing napiter tersebut akan dicari pola dalam melakukan pembinaan.

“Kalau kita sudah tahu tingkat radikalnya, lalu kita lakukan dengan pembinaan dengan merumuskan bagaimana polanya, tentunya adalah tergantung dari hasil dari assesment itu. Kita harus punya ukuran jelas orang per orang di mana tingkat radikalnya. Lapas harus punya kapasitas untuk melakukan pembinaan itu, rehabilitasi itu,” ujar pria yang juga anggota kelompok ahli BNPT .

Menurut Prof Hamdi, rehabiltasi yang bagus tentunya harus secara komprehensif atau menyeluruh dengan mengusahakan napiter tersebut sedikit demi sedikit turun tingkat radikalnya. Tentunya hal itu harus dilkukan sedikit demi sedikit, pelan-pelan dengan kesabaran yang mana pihak Lapas juga harus punya taktik yang jelas dengan melakukan daya upaya, dan semua metode untuk dapat membalikkan lagi mindset napiter tersebut yang tadinya radikal mejadi tidak radikal kembali.

“Intinya sebenarnya kita menangkan lagi pikiran dan perasaannya. Pendekatan harus lengkap semua untuk memenangkan lagi pikirin itu artinya pola pikirnya kita benahi lagi tentu harus ada pendekatan. Tetap akan ada pendekatan yang menyentuh pemahaman dia, menyentuh pola pikir, menyentuh ideologi, kontrak ideologi. Ada pendekatan-pendekatan keagamaan, memberikan alternatif ideologi yang baru yakni kebangsaan, pendekatan psikologi ]untuk membuka pola pikirnya untuk merubah mindset atau pikirannya dari yang tadinya radikal menjadi tidakradikal,” ujarnya.
.
Dirimya berharap pemberdayaan kapasitas terhadap institusi Lapas ini dapat dilakukan secara kontinyu, berkesinambungan dan tidak putus-putus. “Kita nggak perlu lagi ada ego sektoral yang mengatakan ini tanggung jawab polisi, ini tanggung jawab BNPty atau ini tanggung jawab Lapas, tidak boleh seperti itu. Semua pihak melakukan terarah pada satu target, rehabilitasi napiter tersebut sebisa SDM yang kita punya,” ujanrya.

Untuk itulah dirinya bersyukur dengan adanya pertemuan rakor tersebut agar pihak-pihak terkait bisa satu pemikiran dalam upaya melakukan rehabilitasi terhadap napiter. “Ini forum yang bagus. Jadi teroris itu nggak bisa segampang orang sekarang teriak-teriak seperti kemana BNPT, kemana Lapas, kemana aja intelijen dan sebagainya,” ujanrya mengakhiri