Jakarta – Sejak dahulu, Organisasi Kemasyarakatan (ormas) keagamaan telah memainkan peran penting dalam membangun bangsa ini. Namun, belakangan muncul ormas yang kerap membenturkan ulama dan umara, yang mana dengan membenturkan konsepsi kebangsaan dan keagamaan. Perlu peran ulama dan umara untuk mengawal ormas sebagai alat pemersatu, bukan pemecah belah bangsa.
Da’i milenial Habib Husein Ja’far Al Hadar mengatakan bahwa dalam konteks kebangsaan, pemersatu bangsa adalah “Persatuan Indonesia” yang sudah termuat dalam sila ketiga Pancasila. Adapun dalam konteks ke-islaman, “ukhuwah” atau persatuan adalah di antara doktrin utama: baik persatuan sesama Muslim, sesama warga negara, atau sesama manusia.
”Maka, organisasi masyarakat (ormas) atas nama kebangsaan atau keislaman memang sudah sepatutnya bisa menjadi pengayom persatuan baik bagi masyarakat dan bangsa ini,” ujar Habib Husein Ja’far Al Hadar di Jakarta, Rabu (6/1/2021).
Habib Husein menyampaikan bahwa seperti yang diketahui secara umum, ada dua ormas terbesar Islam yang ada di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Yang mana kedua ormas tersebut sudah sejalan dengan persatun kebangsaan sejak dulu hingga kini.
”Selain itu memang ada tantangan pada beberapa ormas lain. Namun paling tidak optimisme tetap ada karena NU dan Muhammadiyah ini sudah sejalan,” tuturnya.
Pria kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 itu mengharapkan kepada NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini untuk selalu tampil terdepan dalam mengayomi ormas lain untuk berada di khittahnya dalam misi memajukan bangsa Indonesia ini.
”Ulama itu pemimpin umat, sedangkan umara’ pemimpin rakyat. Umat itu rakyat, rakyat itu umat. Maka, keduanya harus membangun. Bukan hanya sekedar komunikasi saja, tetapi juga bersinergi agar umat dan rakyat tak bingung,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa jangan sampai antara ulama dan umara ini justru terpolarisasi. Harus diingat bahwa persatuan itu adalah salah satu kunci dan prestasi. Kunci keutuhan bangsa dan prestasi suatu bangsa.
”Lihat yang terjadi terhadap negara-negara di Timur Tengah sana yang gagal dalam memadukan nasionalisme dan islamisme, sehingga mereka terus terjebak dalam perpecahan dan kehancuran,” ujarnya mengingatkan.
Oleh sebab itu menurutnya, narasi kebhinekaan adalah modal utama. Bahwa perbedaan mustahil bisa disingkirkan. Maka tak ada pilihan lain kecuali harus bersatu di tengah perbedaan yang ada tersebut.
”Bukan hanya mau bersatu kalau terhadap yang sama saja. Itu namanya persamaan bukan persatuan. Maka dari itu penting untuk mengemukakan narasi-narasi kesatuan, yakni di tengah perbedaan, fokus apa yang menjadi kesatuan di antara kita,” ujarnya mengakhiri.