Dalam Islam Tidak Dibenarkan Ada Politisasi Agama

Jakarta – Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Fuad Amsyari menilai, agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Bahkan keduanya dianggap sebagai saudara kembar. Kendati demikian, dalam islam tidak dibenarkan adanya politisasi agama.

Pernyataan itu diungkapkan Fuad saat menjadi narasumber pada seminar nasional “Mencari Kesepakatan tetang Makna Politisasi Agama” di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, kemarin.

Dia mengatakan, dalam berpolitik, Islam juga menjadi pijakan utama. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya memang mustahil untuk dipisahkan. Pentingnya posisi politik, kata dia, bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kenabian.

“Yang menjadi pertanyaan selama ini adalah, apakah di dalam Islam terdapat politik dan mengajarkan politik,” ujar Fuad dikutip dari sindonews.com, Senin (5/3/2018).

Dikatakan Fuad, aspek politik Islam berasal dari Al Quran dan Sunnah, sejarah perjalanan Islam dan elemen gerakan politik baik di dalam ataupun di luar Islam.

Dalam Islam, jelas Fuad, antara agama dan politik terdapat sebuah perbedaan pendapat dalam memahami sumbernya, yaitu Al Quran dan Assunnah. Lepas dari pro dan kontra antara yang sepakat dan tidak, yang jelas Islam tidak bisa lepas dari sebuah tatanan kehidupan bernegara.

“Tugas kita sebagai umat Islam mengidentifikasi, apakah di dalam Islam ada politiknya apa tidak. Menurut saya, justru melalui proses politiklah rasul menjadi kepala Negara Madinah, hal ini sudah menjelaskan kalau beliau memang memberikan ajaran politik,” katanya.

Ditandaskan, bagi agama Islam tidak ada batas antara agama dan politik karena politik adalah bagian integratif dari ajaran agama Islam. Namun, yang tidak boleh adalah politasi agama.

“Mengelabuhi orang yang beragama untuk kepentingan politik itulah politisasi agama dalam pandangan Islam,” sebut Fuad.

Seminar itu dihadiri oleh Pengasuh Pesantren Teubireng KH Salahudin Wahid (Gus Sholah). Tampil sebagai pembicara, di antaranya, Dewan kehormatan ICMI Pusat, Fuad Amsyari, serta Guru Besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy.