Cyber Terorism Dan Hukum Pidana Indonesia (Bagian I)

Prolog

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mencatat bahwa selama periode 1999 sampai dengan 2002 telah terjadi aksi terorisme sebanyak 185 kasus di Indonesia yang mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 62 orang dan korban luka berat sebanyak 122 orang.2 Angka serangan teroris di Indonesia ini kemudian ternyata semakin meningkat. Data Institute for Economic and Peace menyatakan bahwa dari tahun 2002 hingga 2014, Indonesia kehilangan 466 jiwa akibat 226 aksi terorisme. Ratusan kejadian itu juga membuat 1302 orang luka-luka dan 392 bangunan rusak. Fakta yang memperihatinkan adalah data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyatakan bahwa 2,7 juta orang Warga Negara Indonesia terlibat dalam serangkaian serangan terror, yang berarti mencapai sekitar 1 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.3

Dengan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang seiring perkembangan globalisasi, sifat lintas batas negara dari tindak pidana terorisme semakin nyata adanya. Bentuk terorisme yang memiliki karakteristik lintas batas negara yang demikian lazim disebut dengan istilah cyber terrorism.4 Sifat virtual dari cyber space sangat memungkinkan aksi terorisme dilakukan dengan melintasi batas-batas negara (borderless).

Pengaturan Hukum Internasional Terkait Cyber-Terrorism

Terorisme dalam dunia maya (cyber terrorism) saat ini tidak dikategorikan sebagai bentuk dari kejahatan internasional melainkan termasuk dalam bentuk kejahatan transnasional. Kualifikasi transnasional ini mengacu pada Article 3 United Nations Convention against Transnational Organized Crime, di mana kejahatan tersebut: a. Dilakukan di lebih dari satu negara; b. Dilakukan di satu negara, namun bagian penting dari kegiatan persiapan, perencanaan, pengarahan, atau kontrol terjadi di negara lain; c. Dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; atau d. Dilakukan di satu negara, namun memiliki akibat utama di negara lain.

Sepanjang penelusuran penulis, hingga saat ini belum terdapat pengaturan secara khusus terkait cyber terrorism dalam hukum internasional. Dalam situasi kekosongan hukum ini, ASEAN Convention on Counter Terrorism dan International Convention for the Suppression of Terrorists Bombings kiranya dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk mempidanakan pelaku cyber terrorism. ASEAN Convention on Counter Terrorism telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 2012 sedangkan International Convention for the Suppression of Terrorists Bombings diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Meskipun belum memuat secara khusus aturan mengenai cyber terrorism, terminologi cyber terrorism mulai dipergunakan ASEAN Convention on Counter Terrorism. Article VI (1) (/)konvensi tersebut menyatakan sebagai berikut: – “The areas of cooperation under this Convention may, in conformity with the domestic laws of the respective Parties, include appropriate measures, among others, to: … Strengthen capability and readiness to deal with chemical, biological, radiological, nuclear (CBRN) terrorism, cyber terrorism and any new forms of terrorism;5

Sayangnya, konvensi tersebut tidak mengatur lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana cyber terrorism, ruang lingkup cyber terrorism, serta apa yang membedakannya dengan tindak pidana terorisme. Harmonisasi hukum merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang dilakukan dalam usaha untuk menuju proses penyerasian dan penyelarasan di antara peraturan perundang-undangan yang ada sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai tujuan hukum. Harmonisasi pengaturan hukum mengenai cyber terrorism amat penting untuk dilakukan karena peraturan perundang-undangan nasional tidak boleh bertentangan dengan hukum internasional. Harmonisasi tetap harus dilakukan walaupun baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional belum mengatur secara spesifik mengenai cyber terrorism. Adapun substansi yang perlu dilakukan harmonisasi adalah mengenai penyebutan cyber terrorism serta pengertiannya, ruang lingkup kejahatannya, maupun sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai salah satu contoh, ASEAN Convention on Counter Terrorism telah mengenal istilah cyber terrorism sedangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indoenesia sama sekali belum mengenal adanya istilah tersebut.

Cyber Terorism dan Hukum Pidana

Negara Republik Indonesia merupakan negara yang menjadikan supremasi hukum sebagai salah satu tiang penyangga untuk mempertahankan martabat bangsa, khususnya dalam hal mengenai pemberantasan terorisme hal ini terlihat dari diterbitkannya peraturan perundang- undangan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah kejahatan terorisme di Indonesia mulai meningkat. Kejahatan terorisme tidak hanya yang menghancurkan infrastuktur atau fasilitas- fasilitas umum milik negara sehingga menimbulkan rasa takut kepada masyarakat secara meluas tetapi menyebabkan banyak berjatuhan korban baik yang kehilangan nyawa ataupun yang mengalami cacat permanen.

Kerugian yang dihasilkan oleh aksi terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh bangsa Indonesia sebagai akibat dari kejahatan terorisme ini, diperlukan kaidah hukum untuk menjerat para pelaku terorisme dalam melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi, peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Apabila dilihat dari skala aksi dan organisasinya, terorisme dibedakan antara terorisme nasional, terorisme internasional, dan terorisme transnasional. Jaringan organisasi dan aksi terorisme nasional terbatas pada teritorial negara tertentu. Sedangkan terorisme internasional, diarahkan pada orang-orang asing dan asset-aset asing, diorganisasikan oleh pemerintah atau organisasi yang lebih dari satu Negara, dan bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah asing. Adapun terorisme transnasional adalah terorisme jaringan global yang mempersiapkan revolusi global untuk tatanan dunia baru (bagian dari terorisme internasional yang menjadi radikal). 6 Ini gambaran perkembangan dunia kejahatan terorisme yang semakin kian lebih tersistematis dan terorganisir.

Setiap Negara termasuk negara Republik Indonesia menuntut adanya perkembangan infrastruktur negara dan fasilitas-fasilitas umum yang berbasis komputerisasi seperti sistem perbankan, ecommerce, egovernment dan lain-lain untuk kemajuan bangsa. Akan tetapi, fasilitas umum yang berbasis teknologi informasi dan elektronik memiliki potensi kejahatan terorisme juga difasilitasi teknologi informasi pula dan sangat rentan terjadi di Indonesia. Hal ini yang mengarah kepada kejahatan terorisme yang menggunakan atau memanfaatkan teknologi informasi atau juga disebut Cyber Terrorism.

Dalam hal membantu melancarkan rencana dan aksi kejahatan terorisme transaksi elektronik dijadikan sarana komunikasi, propaganda, serta carding. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mengatur secara spesifik mengenai perumusan terhadap kejahatan terorisme yang dilakukan dalam internet. Pemanfaatan transaksi elektronik sebagai media untuk melakukan kegiatan terorisme perlu untuk segera diantisipasi karena dengan perkembangan teknologi yang begitu maju para pelaku teroris tidak akan berpikir panajng dalam melakukan aksi terorismenya lewat media internet sebagai medianya karena tidak memerlukan pembiayaan yang mahal dan tidak perlu menanggung resiko untuk kehilangan nyawa dari pihak teroris, serangan dapat langsung menuju sasarannya aksi ini dikenal dengan cyber terrorism. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik diperlukan bagi Indonesia dalam rangka melanjutkan pembangunan. Cakupan materi UU ITE secara umum antara lain berisi tentang informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi, serta ketentuan pidana yang berkaitan dengan pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE merupakan peraturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur tingkah laku para pengguna internet didalam dunia maya sehingga mereka tidak bisa berbuat semaunya sendiri yang mana dapat memberikan kerugian kepada pengguna internet lainnya. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik yang disahkan DPR pada 25 Maret 2008 menjadi bukti bahwa Indonesia tidak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace law. Undang-Undang ini merupakan cyberlaw di Indonesia, karena muatan dan cakupannya yang luas dalam membahas pengaturan di dunia maya.