Cyber Terorism Dan Hukum Pidana Indonesia (Bagian II)

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidakdipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).8Merumuskan tindak pidana Cyber terrorism dalam transakis elektronik dengan penerapan hukum pidana yang ditekankan pada penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum pidana mengenai masalah Cyber terrorism pada penulisan ini adalah terbatas pada aspek perumusan tindak pidana dari segi materiel, yaitu bagaimana perumusan suatu delik serta sanksi apa yang akan dikenakan terhadap pelanggarnya. Berikut akan dilakukan pembahasan permasalahan pertama dalam skripsi ini, dengan melakukan pengkajian apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia dapat digunakan untuk menjangkau tindak pidana cyber terrorism dengan melihat aspek sistem perumusan tindak pidananya.

Penjeratan pelaku tindak pidana cyber terrorism dengan menggunakan kedua undang-undang diatas harus diketahui terlebih dahulu mengenai rumusan pasalpasal yang ada pada kedua undang-undang diatas agar rumusan unsur-unsur pasal kedua undang-undang diatas dapat dihubungkan keduanya, sehingga sebelumnya penulis menganalisis rumusan pasal kedua undang-undang diatas maka ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu delik-delik yang ada pada kedua undang-undang diatas. Peraturan perundang-undangan ini merupakan peraturan terbaru yang mengatur mengenai bidang informasi dan transaksi elektronik. Peraturan ini muncul karena perkembangan yang sangat pesat teknologi terutama dalam transaksi elektronik yang untuk melindungi pengguna internet dari kejahatan komputer atau cyber crime.

Merumuskan delik untuk menerapkan kepada pelaku tindak pidana cyber terrorism dalam transaksi elektronik sesuai dengan hukum positif di Indonesia. Pada penjelasan pasal-pasal di atas baik dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik penulis sudah mengemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian penerapan setiap pasal yang dimana beberapa pasal dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism tetapi ada beberapa pasal yang tidak sinkronisasi apabila di gabungkan untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism. Dalam hal mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun artinya pelaku cyber terrorism melakukan interaksi dengan sistem elektronik dengan cara memasuki cyberspace baik yang di proteksi atau tidak di proteksi.

Dengan tujuan memperoleh informasi elekronik dan/atau dokumen elektronik, dalam unsur ini pelaku cyber terrorism menggunakan informasi elektronik dan dokumen elektronik untuk memerkuat akurisi sasaran atau target yang sudah direncanakan agar tujuan dalam misi terror tercapai dengan sempurna. Seperti pihak teroris memperoleh data berupa gambar atau peta satelit di dalam data militer untuk menemukan lokasi markas militer tentara anti teroris sedangkan cara-cara untuk melakukannya di jelaskan dalam pasal 30 ayat 3 yaitu melanggar, menerobos, melampaui, menjebol sistem pengamanan. Akan lebih berbahaya lagi apabila pelaku cyber terrorism dapat memasuki sistem komputer milik negara dan mengkasesnya untuk memperoleh rahasia negara dan bahkan menghapusnya secara permanen atau memasuki system elektronik listrik. Negara dan mematikannya sehingga menimbulkan kerusakan infrasruktur dan ketakutan dalam masyarakat baik secara fisik maupun non fisik. Maka perbuatan pelaku cyber terrorism dalam hal melakukan interaksi dengan sistem jaringan elektronik untuk memperoleh data informasi agar lebih effisien dalam penjeratan terhadap pelaku tindak pidana cyber terrorism maka penulis men-junto kan dengan pasal yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana terorisme yaitu Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Dan, Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. Pasal di atas memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Setiap orang;
  2. Dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana;
  3. Dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya;
  4. Untuk melakukan tindak pidana terorismesebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.

Kegiatan pendanaan terorisme (financing of terrorism) atau pendanaan kepada para teroris (terrorist financing) merupakan hal lazim terjadi dalam aksi-aksi teroris, karena tanpa adanya dukungan yang kuat, akan sangat sulit bahkan mustahil mereka bisa mewujudkan rencana mereka. Pendanaan terorisme ditujukan kepada pendanaan aksi terror atau kegiatan terorisme, sedangkan pendanaan kepada teroris berarti untuk keperluan latihan sehari-hari, dan kebutuhan para teroris selama berada di kamp pelatihan. Dengan kata lain, pendanaan kepada teroris lebih ditujukan kepada pelaku tindak pidana terorisme.

Cyber Terrorism Dalam Transaksi Elektronik.

Dalam penerapan hukum positif di Indonesia terhadap tindak pidana cyber terrorism dalam transaksi elektronik penulis akan membahas bagaimana efektif peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku dan efektif untuk di hubungkan agar dapat menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism seperti yang sudah di bahas penulis diatas yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Negara Indonesia sekarang ini lagi memfokuskan untuk melakukan pemberantasan kejahatan yang sudah termasuk extraordinary crime yaitu di antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme yang dimana di anggap sebuah penyakit kanker yang dapat menghancurkan Negara Indonesia dalam jangka waktu yang relatif lama, akan tetapi menurut penulis masih ada kejahatan yang bukan termasuk extraordinary crime dan dapat menghancurkan negara Indonesia dalam sekejap atau dalam jangka waktu relatif pendek yaitu tindak pidana cyber terrorism . Alasan penulis mengatakan tindak pidana cyber terrorism dapat menghancurkan sebuah negara indonesia dalam sekejap karena begitu bergantungnya negara Indonesia terhadap peranan perkembangan teknologi dan informasi yang penggunannya sampai pada alat vital negara seperti informasi data rahasia, penyaluran listrik, penggunaan alat komunikasi, alat -alat militer yang di kendalikan lewat teknologi dan system virtual lainnya sehingga dapat digunakan oleh pelaku kejahatan cyber terrorism sebagai alat atau media untuk melakukan aksinya.

Menurut Counter Terroism task Force of Concil of Europe, ada beberapa alasan mengapa teroris menggunakan internet sebagai media untuk melaksanakan kegiatan terorisme yaitu penyerangan bisa dilakukan darimana saja di belahan dunia manapun, penyerangan dapat dilakukan dengan cepat, misalnya worm dan virus dapat menyebar luas tanpa perluu adanya keterlibatan pelaku lebih lanjut, Penyerangan melalui internet dapat disamarkan dengan program tertentu atau teknik tertentu sehingga sulit untuk dilacak, dan penggunaan internet lebih murah.

Abad 21 telah membawa manusia kepada kemajuan-kemajuan kehidupan dan peradaban bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah meningkatkan interkoneksitas antara manusia nyaris tanpa batas-batas negara dan wilayah. Abad 21 ditandai dengan revolusi informasi informasi. Perkembangan tersebut membawa harapan pada kehidupan umat manusia yang lebih baik, lebih damai dan sejahtera. Globalisasi yang disertai revolusi informasi mestinya dapat mempermudah pengembangan pemahaman bersama dan rasa persaudaraan dalam suatu relasi tanggungjawab universal untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang “civilized society” dan “decent society”.11

Kenyataannya tidak demikian. Perkembangan tersebut justru menghadirkan juga kompleksitas permasalahan. Manusia dihadapkan pada berbagai ragam konflik dan ancaman konflik. John Reid, Sekretaris Negara Pertahanan Amerika Serikat, dalam pidatonya pada tanggal 3 April 2006 di Royal United Services for Defence and Security Studies yang membahas masalah “20th -Century Rules, 21st -Centur Conflict” mengungkapkan bahwa ancaman yang kita hadapi saat ini berbeda dan secara signifikan lebih rumit daripada sebelumnya. Ancaman ke depan lebih banyak tidak pastinya yang mencakup masalah ekologi, ekonomi, politik. dan sosial.

Hampir semua pasal sudah dapat diterapkan untuk melindungi dari tindak pidana cyber terrorism terutama pengguna internet atau netizen.Undang-undang Nmor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan undang- undang yang mengatur tentang kejahatan- kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime), sedangkan tindak pidana cyber terrorism merupakan bagian/jenis dari cyber crime sehingga cara atau metode yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut sudah diatur dalam undang-undang ini. Untuk itu penjeratan pelaku tindak pidana cyber terrorism dengan menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dapat digunakan sebatas pasal-pasal yang dapat mendukung atau cocok dengan satu sama lainnya untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism akan tetapi dalam kedua undang- undang ini masih memiliki kelemahankelemahan seperti tidak memberikan definisi secara gramatikal mengenai cyber terrorism, tidak mencantumkan delik percobaan dalam undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dan unsur-unsur yang berbeda dalam kedua undang-undang yaitu undang- undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dan undang- undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Epilog

Bahwa mengenai rumusan delik tentang tindak pidana cyber terrorism ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE berdasarkan uraian diatas didapatkan hasil bahwa penggunan Undang- Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism yang mana cyber terrorism dapat dijerat menggunakan Undang- Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Namun hanya beberapa pasal saja yang sesuai untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism. Pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism yaitu antara lain:

  1. Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) jo pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
  2. Pasal 8 huruf I Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme jo pasal 30 ayat 2 jo pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  3. Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Jo Pasal 32 ayat 2 jo pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hukum positif di Indonesia cukup efektif digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana cyber terrorism dengan menggabungkan dua peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, akan tetapi kedua peraturan perundang-undangan ini masih memiliki kelemahan yaitu tidak memberikan definisi secara gramatikal mengenai cyber terrorism , tidak mencantumkan delik percobaan dalam undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dan unsur-unsur yang berbeda dalam kedua undang-undang yaitu undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dan undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.