Christine Hakim Geram Terhadap Gerakan Radikal di Indonesia

Jakarta – Aktris senior Christine Hakim geram terhadap gerakan radikal yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Syariat Islam.

Menurut Christine, keberagaman adalah hakekat bangsa Indonesia yang seharusnya dijaga dan disyukuri.

“Akhir-akhir ini saya sering mengatakan, NKRI itu bukan ciptaan founding fathers.

Keberagaman NKRI itu ada lewat proses sejak zaman megalitikum, zaman batu, animisme, sampai terakhir Islam rahmatan lil ‘alamin,” kata Christine dalam sebuah obrolan di Kemang, Senin, 11 Maret 2019.

Acara obrolan ini digelar oleh GP Ansor dan sejumlah rekan untuk mempromosikan proyek film Bumi Itu Bulat, film cerita terbaru yang mengusung tema toleransi beragama.

Baca juga : Hendak Dibekuk Densus 88, Bom Milik Terduga Teroris Sibolga Meledak

Film ini diproduksi oleh Robert Ronny dalam bendera Inspira Pictures. Christine, Arie Kriting, dan Jenahara Nasution juga terlibat sebagai inisiator proyek.

Dalam keyakinan Christine, Tuhan memberi rahmat kehidupan bagi semua makhluk, bahkan bagi yang tidak percaya dan tidak menyembah Tuhan.

Berangkat dari pemahaman itu, Christine bahkan tidak sampai hati melukai binatang liar yang masuk ke rumahnya, kecuali ular.

Perempuan kelahiran 1957 ini lantas menceritakan pengalaman terlibat pengerjaan film biopik sejarah Tjoet Nya Dien (1986).

Baginya, film sejarah adalah sebuah perjalanan spiritual dalam memahami hakekat bangsa Indonesia. Sepanjang karier, dia telah bermain dalam lima judul film sejarah, termasuk Kartini dan Sultan Agung.

Ketika terlibat dalam film Tjoet Nya Dhien, Christine melakukan riset tiga tahun tentang sosok dan perjuangan Tjoet Nya Dhien.

Pendalaman itu begitu mengaduk-aduk emosinya dan membuat dia sering menangis, bahkan hingga tiga tahun setelah filmnya tayang pada 1986.

Sore itu, kala mengenang kembali perjalanan tersebut, Christine tak kuasa menahan emosi.

“Tiga tahun setelah filmnya tayang, saya masih nangis terus,” ujar Christine berkaca-kaca sebelum terdiam beberapa saat.

“Berapa juta nenek moyang kita yang gugur, tumpah darah mereka? Kita ini hanya menikmati hasil kerja keras mereka, enggak ada darah yang kita tumpahkan, tetapi pada saat Tuhan sudah menyatukan ini menjadi NKRI, kita khilaf dan lupa untuk menjaga dan bersyukur. (Keberagaman) ini bukan bikinan Pak Sukarno, apalagi Jokowi,” ungkap Christine.

Dia melanjutkan dengan menyoroti gerakan radikal yang hendak mencampuri urusan keimanan setiap pribadi.

“Masalah keimanan, itu bukan urusan kita. Nabi (Muhammad) sendiri tidak bisa mengimankan pamannya. Masak kita mau mengimankan seluruh rakyat Indonesia? Maaf saya terlalu keras,” ujar Christine.

“Apakah dengan menjadi Syariat, lalu semua orang menyembah Tuhan? Sombong sekali kita,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Christine menceritakan pengalamannya sebagai pemeluk Islam yang hidup berdampingan dengan para sahabat berbeda etnis dan agama.

“Saya punya sahabat Tionghoa, sudah di generasi ketiga dari Pangkalpinang. Baju gamis dia lebih banyak ketimbang saya, karena setiap Ramadhan, dia berkeliling dari rumah ke rumah. Dia punya restoran dan berbagi makanan ketika hari raya.”

“Uang tahunnya 24 Desember. Setiap ultahnya dan sekaligus perayaan Natal, kami semua teman Muslim datang,” pungkasnya.