Canberra – Kehidupannya begitu rahasia, bahkan keluarganya pun sama sekali tidak tahu apa yang dia kerjakan selama ini.
Makanya, begitu bertemu untuk wawancara, Sarah (nama samaran) tidak boleh menyebutkan siapa dia sebenarnya. Demikian dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (19/12).
“Keluargaku saja tidak tahu apa yang saya lakukan, apalagi musuh atau teroris itu,” ujarnya.
Untuk pertama kalinya, peretas berusia 30-an ini mengungkapkan perannya dalam operasi penyusupan untuk menghancurkan unit propaganda kelompok teroris Islamic State (ISIS).
Tugas yang dijalankannya sangat kritis. Pasalnya, melalui aktivitas online, ISIS bukan hanya berhasil merekrut pengikut tapi juga menyebarkan kebencian dalam beberapa bahasa.
Propaganda ISIS berhasil mengubah warga biasa menjadi kombatan ideologis.
Dalam pertempuran semacam ini, keterampilan komputer yang dimiliki Sarah sama pentingnya dengan seorang prajurit pasukan elite Australia SAS.
Lokasi penugasan Sarah adalah sebuah ruangan tanpa jendela di Kota Canberra. Dia memimpin tim Australia dalam operasi rahasia bekerjasama dengan operator Amerika pada 2016.
Operasi mereka diberi nama Operation Glowing Symphony untuk meretas sistem online ISIS. Misinya adalah mengisolasi jaringannya, mengunci pengguna dan kemudian melenyapkan konten.
Dengan menghapus semua kontennya, kemampuan ISIS memproduksi propaganda dan menyebarkan misinformasi mengalami kehancuran.
Beberapa aspek operasi itu sekarang telah dideklasifikasi. Isinya menggambarkan bagaimana peretas profesional melemahkan proses rekrutmen online yang dilakukan ISIS dan kemampuan kelompok itu meluncurkan serangan.
Sarah bekerja untuk Direktorat Sinyal Australia (ASD), salah satu organisasi paling rahasia di negara ini.
ASD menyebut dirinya beroperasi “di wilayah antara yang sulit dan yang tidak mungkin” dan bertanggung jawab atas sinyal intelijen asing dan perang siber.
Secara sederhana, organisasi ini memata-matai orang atau kelompok di luar negeri, yang dipandang sebagai ancaman bagi Australia. Jika diperlukan, ASD juga melancarkan serangan dunia maya untuk mengganggu, mengendalikan atau menghancurkan targetnya.
Divisi peretasan ASD dibawahi oleh Ben Staughton, yang ditemui ABC di markas ASD.
“Di sini lebih mirip kantor biasa dan bukan sepasukan tentara yang memenuhi lapangan,” ujarnya.
Pegawai ASD tidak mengenakan seragam. Mereka masuk kantor mengenakan jeans dan kemeja biasa. Senjata utama mereka hanyalah keyboard komputer.
Ketika Australia dan sekutunya berperang dengan kombatan ISIS dari darat dan udara, mereka menyadari betapa divisi propaganda online kelompok itu sangat mematikan.
ISIS pernah mempekerjakan 100 orang untuk propaganda, termasuk spesialis IT, desainer grafis dan produser konten video.
“ISIS menyebarkan pesan ke seluruh dunia, datanglah dan berjuanglah bersama kami,” kata Staughton.
Kelompok teroris itu juga menerbitkan majalah digital dalam berbagai bahasa, lengkap dengan instruksi lokasi dan cara meluncurkan serangan.
Staughton menilai pesan-pesan ISIS itu berhasil mempengaruhi orang.
“Banyak sekali orang dari penjuru dunia yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan mereka,” katanya.
Divisi propaganda ISIS terbukti sama berbahayanya dengan para kombatan bersenjata dan perakit bom.
“Banyak individu yang bekerja untuk ISIS menerima gaji yang sama dengan komandan militer di lapangan,” jelas Lydia Khalil dari lembaga penelitian Lowy Institute.
Hal ini, katanya, mengindikasikan betapa ISIS menyadari pentinganya operasi online mereka.
Untuk melawan kecanggihan operasi online ISIS, Amerika Serikat, Australia, dan sekutu lainnya kemudian meluncurkan operasi serangan siber terbesar dalam sejarah militer AS.
“Ini merupakan operasi yang sangat besar, kelas atas,” jelas Staughton.
Direktorat Sinyal Australia membentuk tim yang terdiri dari 20-an pakar untuk bergabung dengan Operation Glowing Symphony.
Mereka terdiri atas ahli bahasa, pakar anti-terorisme, analis intelijen, operator serangan siber (lebih dikenal sebagai peretas) dan spesialis teknis TI.
Usia mereka antara 24 dan 38 tahun, kebanyakan sarjana sains, matematika, bahasa dan pemasaran. Mereka menjalani pelatihan intensif untuk mempersiapkan perang siber.
Tim Australia ini menghabiskan waktu berbulan-bulan merencanakan operasi. Termasuk pengintaian online untuk memata-matai anggota unit propaganda ISIS.
“Kita perlu tahu bagaimana mereka merespons serangan, untuk mendukung taktik kita dalam menyerang mereka kembali,” jelas Sarah.
ASD mempelajari semua hal tentang anggota ISIS untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam menghadapi lawannya.
“Kami memiliki tim ahli yang beragam termasuk pakar terorisme, budaya, dan bahkan analis perilaku yang memberikan masukan mengenai bagaimana target itu beroperasi,” jelasnya.
Ketika AS dan sekutunya terus memata-matai jaringan online ISIS, mereka menemukan hanya ada 10 titik masuk ke seluruh sistem itu.
“Jika kita ibaratkan jaringan media ISIS sebagai sebuah rumah, ada 10 pintu masuk yang kami temukan, kemudian mengambil langkah selanjutnya untuk mengacaukannya,” kata Sarah.
ASD tidak bersedia menjelaskan bagaimana cara membuka pintu-pintu tersebut.
Tapi secara umum metode peretasan mencakup uapaya menemukan kelemahan jaringan, menentukan nama pengguna atau kata sandi seseorang, hingga penggunaan email phishing untuk mendapatkan akses.