Bangka Tengah – Paparan paham radikal terorisme bisa menyasar siapa saja, tak terkecuali pada orang-orang yang mengabdikan dirinya di penanggulangan terorisme itu sendiri. Kolonel (Czi) Rudy Widodo, Kepala Subdirektorat Pemulihan Korban BNPT, salah satunya. Bagaimana cerita lengkapnya?
Rudy hadir sebagai pemateri di kegiatan Integrasi Nilai-nilai Agama dan Budaya dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan di Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, Kamis (28/3/2019). Peserta ini menghadirkan 105 guru dari tingkat TK hingga SMA untuk diberikan pembelajaran menghadapi radikalisme dan terorisme.
Saat memaparkan materi, Rudy menceritakan saat anaknya menolak ketika diminta membelikan air mineral ke sebuah minimaret tak jauh dari rumah. Alasan penolakan itulah yang mengagetkannya, karena sang anak menilai produk yang akan dibeli adalah merek dagang dari negara kafir yang tak layak dikunjungi.
“Anak saya bilang itu kan produknya Danone, itu dari Prancis negara kafir. Kata pak guru kita tidak boleh membeli produk negara kafir,” ungkap Rudy.
Meski mengaku kaget, Rudy tak serta-merta memarahi anaknya. Sebaliknya, dia mencoba mengorek informasi dari sang anak tentang siapa yang mengajarinya, sekaligus meluruskan pemahaman keliru tersebut.
“Saya tanya anak saya, pak guru yang mengajarkan air mineral produk kafir pakai handphone apa tidak? Anak saya jawab pakai. Handphonenya buatan mana, dijawab China. Dari setiap jawaban yang diberikan, saya akhirnya memberikan pemahaman bahwa apa yang diajarkan guru anak saya di sekolah itu tidak benar,” urai Rudy.
Rudy mengajak peserta kegiatan bisa bersama-sama terus meningkatkan kewaspadaan, karena radikalisme dan terorisme bisa menyasar siapa saja.
“Saya tidak bermaksud mendiskreditkan suku atau agama tertentu, tapi saya mengungkapkan contoh. Kita harus terus waspada dan mengembangkan kemampuan pembelajaran, agar kita mampu mempersempit potensi keterpaparan anak-anak kita dari pengaruh radikal terorisme,” terang Rudy.
Praktisi pendidikan Bangka Belitung, H. Kamarudin AK, di kesempatan yang sama mendorong guru untuk mampu menjadi pengajar yang baik, yaitu tidak hanya menyampaikan materi pelajaran, namun juga memberikan contoh perilaku.
“Orang Jawa menyebut guru itu digugu dan ditiru, didengar dan diikuti. Apa yang dikatakan guru dan dilakukannya akan dicontoh anak didiknya, karenanya berikan yang terbaik,” tandas Kamarudin. [shk/shk]