Jakarta – Acara Rapat Koordinasi (Rakor) dalam rangka pendampingan sasaran deradikalisasi di masyarakat yang digelar di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Kementerian Agama (Kemenag) yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta pada Selasa (14/11/2017) siang ini menghadirkan salah satu mantan terorisme, Kurnia Widodo sebagai narasumber.
Kurnia Widodo yang merupakan alumni Teknik Kimia tahun 2000 dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan kesaksiannya kepada para audience yang terdiri dari para Kepala Kantor Wilayah Provinsi dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota mengenai keterlibatannya dalam jaringan kelompok teroris di masa lalunya.
Kurnia mengaku mengenal dunia radikalisme dan jihad ekstrem sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada awal-awal tahun 90-an.
“Awalnya teman saya memberikan buku-buku tentang jihad ekstremis, tauhid, dan lainnya sampai akhirnya saya bergabung dengan beberapa kelompok Islam radikal seperti Negara Islam Indonesia (NII), HTI, dan ISIS. Sampai sekarang NII itu masih ada sel-selnya,” kata Kurnia
Dirinya juga mengaku telah belajar untuk merakit bom saat ia masih kuliah di ITB. Ia merancang bom dan mencari bahan-bahannya dari bacaan yang ada di perpustakaan. “Membuat bom itu tidak sulit,” ungkapnya.
Sampai akhirnya dirinya menceritakan penangkapan terhadap dirinya oleh Densus 88/Anti Teror Polri di Cibiru, Bandung pada tahun 2010 lalu dan mendapatkan hukuman 6 tahun penjara. Di dalam tahanan, Kurnia mengaku pernah bertemu Bahrun Naim, salah satu pimpinan teroris yang berafiliasi dengan ISIS.
Pada tahun 2014, dirinya mendapatkan pembebasan bersyarat. Sebelum bebas, ia mengaku cukup sering selisih pendapat dengan kelompoknya. Dan itulah yang membuat dia renggang dengan teman-temannya.
“Misal shalat di masjid lapas itu tidak sah. Akhirnya saya clash, kemudian saya banyak berdialog dengan tokoh yang bertentangan dengan kelompok saya hingga akhirnya saya sekarang sadar,” tutur Kurnia.
Tidak lupa di acara rakor tersebut dirinya juga menjelaskan mengenai pemikiran-pemikiran radikal dan filosofinya. Dirinya juga membeberkan mengenai cara menangkal atau mengcounter terhadap pemikiran tersebut serta bahayanya apa di masyarakat. “Karena masalah terorisme ini bukan rekayasa dan bukan main-main. Dan saya di depan yang ada di depan bapak-ibu semuanya ini sebagai saksi hidup,” ujarnya.
Apalagi dengan audience yang merupakan dari Kementerian Agama dan termasuk para penyuluh agama ini dirinya berharap melalui mereka-mereka ini juga ikut andil dalam menangani masalah terorisme. “Jadi hal ini bisa dilakukan oleh semua lembaga, bukan hanya BNPT saja. Mungkin mereka akan ikut andil dalam mencegah paham-paham radikal di masyarakat melalui penyuluhan agama,” ujarnya
Terhadap apa yang harus diperbuat para audience nantinya dalam melakukan pendampingan sasaran deradikalisasi di masyarakat dirinya meminta para penyuluh agama ini nantinya harus paham terhadap ciri-ciri identifikasi kelompok radikal serta pola perekrutan,
“Minimal buat diri dan keluar kita sendiri. Sekarang ini jangankan keluarga penyuluh agama, keluarga polisi saja yang kemarin melakukan pembakaran Mapolres di Sumatera Barat juga dari keluarga dari anggota Polisi. Apalagi bapak-ibu semuanya yang hadir disini. Pasti bisa lebih luas lagi,” tuturnya.
Kurnia mengakui bahwa memang masalah masalah seperti terorisme ini tidak banyak diketahui oleh umum sehingga banyak yang tidak tahu bahayanya. “Banyak orang malah bertanya apa sih terorisme itu dan tiba-tiba sudah hadir di keluarganya,” katanya
Lebih lanjut, dirinya juga menjelaskan ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang tua untuk mendeteksi apakah anaknya terkena paham radikal. Pertama, awasi anak dan jangan abaikan. Kalau orang tua abai dengan anaknya, maka itu adalah peluang yang bagus untuk para radikalis.
“Lalu ajak anak kita berdialog. Kalau ada indikasi, maka orang tua harus selidiki dari mana anak mendapatknya paham radikal itu. Kalau seandainya anak sudah terpapar dengan paham radikal, maka ia harus dibawa kepada para tokoh agama yang memiliki pemahaman yang moderat,” tuturnya mengakhiri.