Cerita Bhiksu Asal Malaysia Peserta Thudong Tentang Toleransi di Indonesia

Jakarta – Ritual Thudong yang tengah dilakukan 32 biksu dengan berjalan kaki dari Nakhon Si Thammarat, Thailand ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, menyita perhatian banyak orang.

Total jarak perjalanan yang ditempuh 32 biksu ini diperkirakan sejauh 2.600 Km. Para biksu yang berjalan kaki ini berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Perjalanan ini memecahkan rekor MURI.

Mereka memulai perjalanan ritual Thudong sejak 25 Maret 2023 dengan rute Thailand-Malaysia-Singapura-Indonesia. Para biksu ini masuk Indonesia dari Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

32 bhante atau biksu yang melakukan perjalanan dari Thailand menuju Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, telah tiba di Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).

Puluhan biksu itu akan beristirahat dan bermalam di Vihara Budhi Asih, Jalan Lentan Joni, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebelum melakukan perjalanan menuju Cirebon.

Ada cerita menarik yang diungkapkan para biksu tersebut. Salah satunya diungkap Maha Or (32), biksu yang berasal dari Malaysia. Menurutnya, setiap perjalanan para biksu itu akan beristirahat setelah menempuh sekitar 15 hingga 20 kilometer perjalanan.

“Kita mulai perjalanan dari Thailand tanggal 27 Maret, selama perjalanan kita istirahat berhenti setelah jalan 15 sampai 20 Kilometer, selepas ambil makan kita mulai jalan lagi,” ungkapnya saat ditemui di Vihara Budhi Asih.

Para biksu itu, lanjut Maha Or akan menginap jika telah menempuh perjalanan sejauh 30 kilometer.

“Kita jalan sampai destinasi (lokasi) yang kita rehat, untuk mencuci jubah dan istirahat satu malam, rata-rata satu hari 30 kilometer,” lanjutnya.

Biasanya para biksu akan istirahat di Wihara umat Buddha, maupun warga Tionghoa. Dalam perjalanannya, Maha Or menjelaskan, para biksu tersebut tidak membawa uang bekal maupun makanan, mereka mengandalkan pemberian dari umatnya.

“Kita tidak perlu bawa bekal, sebab umatnya bersedia memberi makanan, minuman serta tempat tidur,” jelasnya.

Selama kegiatan jalan kaki, kata Maha Or, diperlukan kesabaran yang tinggi dalam menjalani cobaan yang dihadapi, apalagi saat menghadapi cuaca ekstrim.

“Kita hanya mengeluhkan kita kepanasan atau cape sakit, perlu kesabaran yang sangat tinggi, cuaca kadang hujan, kadang panas terik,” katanya.

Dibandingkan di negara asalnya, Malaysia Maha Or menuturkan meski di Malaysia cuacanya lebih panas dibandingkan Indonesia, namun polusi udara di Malaysia lebih bersih dibandingkan Indonesia.

“Cuaca lebih panas di Malaysia, di Indonesia hanya 36 derajat Celcius kalau Malaysia 38 derajat. Namun di Malaysia udaranya lebih baik, sebab jalannya banyak, asap kendaraan kurang, kalau di Indonesia kendaraan banyak,” tuturnya.

Namun Maha Or mengapresiasi masyarakat Indonesia, toleransi di Indonesia lebih baik dibandingkan di negaranya.

“Yang paling bagus di Indonesia, umatnya toleransi. Ketika menunggu ketibaan kami, masyarakatnya menyambut. Masyarakat Indonesia sangat luar biasa dari segi toleransinya, seperti menyambut kedatangan sanak saudara,” ujarnya.

Maha Or mengungkapkan dari tiga negara yang telah ia lalui, Indonesia menjadi negara yang masyarakatnya paling toleran.

“Selama perjalanan saya dari Malaysia, Thailand, dan Indonesia, semuanya baik. Namun Indonesia luar biasa dalam toleransi, masyarakat memberikan salam, kita pun senang,” tandasnya.

Ia juga sangat berkesan saat tiba di Indramayu, ketika ribuan warga menunggu di bahu jalan hanya untuk menyapa para biksu.

“Yang paling berkesan itu, banyak warga bercakap (menyapa) kita semua,” katanya.