Kudus – Founder Fathan Center Fathan Subchi menganggap peran para
tokoh agama serta dai perlu dioptimalkan dalam memberikan informasi
lebih awal terkait ajaran-ajaran yang diduga menyesatkan dan bisa
membuat sikap radikal dan ekstrem terhadap pemerintah.
“Saya kira peran para tokoh agama, termasuk pengasuh pondok pesantren,
hingga para penceramah sangat penting di masyarakat dalam memberikan
pemahaman soal ajaran agama yang benar, sehingga mereka tidak mudah
masuk dalam ajaran yang bisa membuat mereka radikal maupun ekstrem
terhadap pemerintah,” ujar Fatan Subchi yang juga Anggota DPR RI
ditemui di sela-sela kegiatan bedah buku Radikalisme, Terorisme, dan
Deradikalisasi di Indonesia karya As SDM Polri Irjen. Pol. Dedi
Prasetyo dan anggota Kompolnas Mohammad Dawam di Kudus, Sabtu (18/11).
Ia mengakui soal ajaran agama memang banyak dan tumbuh berkembang di
Tanah Air. Namun, ketika ada yang mencoba menggunakan senjata dan
memaksakan kehendak, hingga melakukan langkah-langkah yang ekstrem
itulah yang harus diperangi.
Pada umumnya, kata dia, orang-orang yang suka menyendiri dan suka
melakukan hal-hal di luar kebiasaan masyarakat, memang perlu didekati
lebih intensif dan dialogis. Prinsipnya dialog lebih mengedepankan
kepada pencegahan dari pada tindakan.
Untuk itu, Fathan Center bekerja sama dengan Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas) dan Polri menggelar acara bedah buku Radikalisme,
Terorisme, dan Deradikalisasi di Indonesia ini dengan mengundang para
tokoh agama, ulama, dai, serta banyak pihak yang nantinya bisa ikut
terlibat dalam upaya memerangi terorisme dan radikalisme.
Menurut dia memang perlu upaya bersama dan pencegahan sejak dini
melalui ajaran dan pendekatan lebih dialogis, serta kampanye secara
masif.
Buku karya As SDM Polri Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dan anggota
Kompolnas Mohammad Dawam tersebut, kata dia, memang sangat bagus
karena memotret asal usul radikalisme dan terorisme.
“Saya menilai, perang melawan terorisme dan radikalisme merupakan
perang yang panjang dan terus menerus,” ujarnya.
Bahkan, kata dia, disebutkan bahwa ada beberapa guru saja bisa
terlibat dan terpengaruh dengan isu-isu terorisme dan radikalisme itu.
Harapannya dengan upaya pencegahan dini melalui diskusi, dialog, dan
silaturahmi bisa membantu semua pihak, termasuk Kepolisian untuk terus
bekerja dengan baik dan simultan bagaimana radikalisme dan terorisme
diperangi secara terus-menerus.
Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dalam sambutannya via zoom mengungkapkan
bahwa terorisme biasanya dilakukan perorangan dan kelompok untuk
mencapai tujuan dengan kekerasan serta menebarkan teror. Sedangkan
motifnya dikutip dari Salahudin Wahid disebutkan, mulai dari soal,
agama, ideologi, memperjuangkan kemerdekaan, membebaskan diri dari
ketidakadilan, dan adanya kepentingan.
Untuk tujuan aksi terorisme berdasarkan hasil penelitian Alex P.
Schmid dan Albert J. Jongman 1988 disebutkan bahwa untuk menciptakan
ketakutan dan teror sebesar 51 persen, untuk kepentingan politik
sebesar 65 persen, dan terbesar bertujuan untuk kekerasan sebesar 83,5
persen.
“Karena terorisme merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar
biasa, maka penegakan hukumnya juga dengan cara luar biasa. Sebelum
melakukan aksi harus ditindak terlebih dahulu,” ujarnya.