Gorontalo – Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Willy Pramudya, menyebut persaingan media menjadikan profesionalisme wartawan semakin turun. Untuk mencegah penyebarluasan paham radikal terorisme, media disarankan meminimalisir persaingan.
Ini disampaikan Willy saat menjadi narasumber Visit Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Gorontalo ke Mimoza TV, Rabu (8/11/2017). Kegiatan ini juga mengunjungi redaksi Radio Suara Rakyat Hulontalo.
“Karena alasan persaingan media sekarang mendewakan klik, rating dan oplah, yang ujungnya media menjadi tidak profesional,” kata Willy.
Ketidakprofesionalan media, lanjut Willy, di antaranya nampak dari terjadinya glorifikasi, fabrikasi, justifikasi, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Dalam isu terorisme, tak jarang berbagai pelanggaran menjadikan berita yang disajikan media menjadi teror baru bagi masyarakat.
“Contoh kasus bom di Jalan Thamrin, Jakarta. Kejadiannya tidak besar, tapi karena media mengejar rating dan membuatnya heboh, masyarakat yang di Gorontalo juga merasakan kengeriannya,” tambah Willy.
Willy menambahkan, menjadi tugas industri pers dan wartawan secara pribadi untuk meningkatkan independensi dan profesionalismenya. “Profesionalisme akan mencegah persaingan antarmedia,” tutupnya.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, di kesempatan yang sama mendukung apa yang disampaikan Willy Pramudya. Menurutnya, pencegahan terorisme bukan hanya menjadi tugas pemerintah.
“Pers adalah bagian dari yang wajib ikut terlibat dalam pencegahan terorisme. Bagaimana keterlibatannya, salah satunya dengan menjaga profesionalisme,” kata Yosep.
Stanley, demikian Yosep Adi Prasetyo disapa, juga menyampaikan empat fungsi pers, yaitu penyampaian informasi kepada masyarakat, media pendidikan, media hiburan serta sarana pengingat dan pengawal pemerintahaan. Pemberitaan media diminta tidak meninabobokkan aparat pemerintahan.
“Media juga harus mampu menyampaikan kritik apabila menemukan ketidakadilan, karena ketidakadilan dalah salah satu penyebab seseorang menjadi radikal dan mau melakukan aksi terorisme,” tandas Stanley.
Di akhir paparannya, Stanley mengajak media menjalankan fungsi mata dan telinga bagi masyarakat, mengingatkan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme ada di mana-mana dan bisa terjadi kapan saja.
Visit Media merupakan salah satu metode yang dijalankan di kegiatan Pelibatan Media Massa dalam Pencegahan Terorisme. Satu metode lainnya adalah dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat. [shk/shk]