Cegah Radikalisasi pada Anak, Biarkan Anak-Anak Berkembang Sesuai Usianya

Jakarta – Anak-anak usia dini secara psikologis sesuai perkembangannya sudah selayaknya dibiarkan untuk bermain dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Anak-anak usia dini jangan di indoktrinasi dan ditanamkan kebencian kepada orang lain. Hal tersebut seiring dengan adanya ajaran kebencian yang diajarkan orang tua terhadap anaknya untuk membenci umat agama lain dengan mengajarkan kekerasan, seperti apa yang dilakukan WNI yang mengajak keluarga dan anaknya untuk hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok radikal Islamic State of Suriah and Iraq (ISIS).

Guru besar fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, mengatakan bahwa faktor lingkungan harus lebih peka dalam melihat dan mengawasi tingkah laku anak-anak yang ada di sekitarnya agar anak tersebut tidak mudah terpengaruh paham radikal.

“Lngkungan harus cepat tanggap kalau melihat ada anak-anak yang mulai menunjukkan gejala-gejala yang aneh, tidak seperti anak biasanya. Dalam kontek radikalisasi misalny, kalau anak-anak itu bersikap membenci terhadap orang-orang di luar Islam, terus mulai bersikap sangat keras, lalu memusuhi, nggak mau main dengan anak-anak dari yang bukan islam itu harus diwaspadai,” ujar Prof Hamdi Muluk, kepada media Rabu (29 Maret 2017).

Memang menurut Hamdi Muluk, ada problem untuk kota besar seperti yang terjadi sekarang ini ketika orang hidup agak individualis dengan keluarga yang masing-masing. Karena kalau dalam lingkungan masyarakat yang masih guyup, masyarakat sekitar masih peduli terhadap apa yang terjadi dengan keluarga yang ada di sekitarnya.

“Karena bukan tidak mungkin radikalisasi pada anak itu akan terjadi pada kalangan atas dan terdidik. Ada beberapa contoh seperti bapak-ibunya dosen, tapi anaknya terpapar paham radikal. Lalu ada juga yang orang tuanya pegawai di instansi pemerintah lalu menanamkan ideologi radikal pada keluarganya lalu mengajak keluarganya hijrah ke Suriah dan akhirnya di deportasi oleh pemerintah Turki,” ujarnya mencontohkan.

Pria yang juga anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang Psikologi ini juga mengatakan bahwa ada juga anak-anak usia dini yang sudah terpapar paham radikal dari lingkungan sekolahnya yang dimana gurunya sebenarnya adalah seorang jihadis.

“Sekarang kan ada juga mulai terbongkar materi-materi yang radikal di pelajaran SD, misalnya dengan embel-embel sekolah Madrasah lalu di indoktrinasi dengan mengajarkan kekerasan dan kebencian terhadap anak itu. Atau anak itu gabung atau ikut di sebuah pengajian yang mungkin tertutup. Dimana aktor-aktor radikalnya itu menjadi guru, sehingga paham radikal itu masuk dari situ. Ini yang harus diwaspadai orang tua dan masyarakat sekitar,” ujarnya.

Menurutnya, dengan melakukan proses indoktrinasi kepada anaka-anak yang belum pada waktunya secara hak asasi telah merusak jiwa anak tersebut. Karena anak-anak telah dilindungi undang-undang, leh konvensi PBB Internasional. Sementara di Indonesia juga ada Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

“Jadi anak-anak harus dilindungi dari perlakukan-perlakuan yang tidak boleh dilakukan oleh anak-anak kecil seperti kekerasan, termasuk juga indoktrinasi. Apalagi di didik menjadi fighter yang nanti mau dijadikan seperti tentara untuk berjihad. Memang itu lazim dijumpai di negara-negara konflik seperti di Palestine atau di Afganistan atau di dunia lain yang terjadi konflik, tapi di Indonesia inikan negara damai,” ujarnya

Menurutnya, nanti kalau anak itu sudah dewasa dan sudah matang maka anak tersebut sudah bisa memilah sendiri mana yang baik dan mana yang tidak baik. Karena kalau sekarang ini anak kecil tidak bisa memilah sendiri.

“Artinya kalau sekarang anak kecil di indoktrinasi, memang hasilnya bisa gawat sekali. Karena anak kecil sangat patuh terhadap orang tuanya. Itu bisa bahaya, karena sering kita jumpai anak itu bisa lebih kejam sekali, malah berdarah dingin karena memang nggak normal,” ujarnya.

Lebih lanjut pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 ini mengatakan, untuk anak-anak yang telah dideportasi oleh pemerintah Turki karena diajak orang tuanya untuk hijrah ke Suriah untuk bergabung dnegan kelompok radikal ISIS tentunya secara perlu pendampingan dari psikolog untuk diperiksa secara kejiwaan.

“Artinya seberapa dalam keterpaparannya terhadap ideologi-ideologi radikal itu, karena secara psikologis itu mengalami keguncangan. Perkembangan psikologisnya tidak normal karena anak-anak tidak selayaknya sudah mendapatkan sesuatu yang belum pantas dia dapatkan pada umurnya,” katanya.

Untuk itu Hamdi juga meminta kepada masyarakat luas baik ulama maupun umaro untuk bersama-sama dalam mengawasi anak-anak di lingkungan sekitar. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan terhadap anak disekitarnya masyarakat harus melaporkannya. Dimana orang tua harus dapat melihat sama siapa anaknya bermain lalu ulama dan masyarakat sekitar juga harus peka terhadap lingkungan sekitarnya.

“Kalau ada tanda-tanda tempat perkumpulan yang tidak beres yang dipakai tempat anaknya kumpul atau bermain ya laporkan ke RT/RW lalu ke Polisi. Kalau di Indonesia ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) juga. Sementara pemerintah melalui Kementerian Pendidikan juga harus mengawasi buku-buku maupun kurikulum yang diajarkan kepada anak-anak sekolah,” ujarnya mengakhiri.