Jakarta – Munculnya Deklarasi Khilafah di sebuah perguruan tinggi di Bogor membuktikan bahwa propaganda radikalisme telah masuk ke lingkungan kampus. Bahkan disinyalir tidak hanya satu atau dua kampus, ada banyak lagi perguruan tinggi di Indonesia yang disusupi paham yang bertujuan untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu.
Hal itu tentu tidak bisa dibiarkan. Apalagi dengan gamblang mereka berniat untuk mendirikan negara khilafah, yang berarti telah mengkhianati Indonesia dengan Pancasila, UUD ’45, dan Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, mahasiswa harus diberikan benteng dari ‘serangan’ radikalisme itu dengan pemahaman tentang Pancasila, UUD ’45, Bhinneka Tunggal Ika, serta agama islam yang rahmatan lil alamin. Pasalnya, mahasiswa yang notabene generasi muda masih haus dengan semua ilmu, tanpa bisa menyaring mana paham yang baik dan mana yang menyimpang.
“Itu karena anak-anak (mahasiswa) belum paham saja karena anak muda itu khan sedang mencari-cari berbagai macam ilmu. Maka sudah menjadi kewajiban rektor, dosen harus memberitahu bahwa Indonesia dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD ’45 itu adalah best model bagi umat islam,” ungkap Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA di Jakarta, Jumat (5/5/2017).
Prof Dada yang juga Ketua Forum Rektor PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) itu memaparkan dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD’45, tidak terhalang untuk menjalankan kewajiban agama. Bahkan dengan tiga pilar itu, lahir beberapa Undang-undang yang menyangkut agama islam seperti UU Perkawinan. Bahkan di Indonesia juga ada kementerian yang mengurusi ibadah. Selain Indonesia, di Sudan juga ada kementerian agama, tapi di Indonesia sangat komplit dari salat, puasa, haji, yang semua diurus negara. Bahkan mau menikah pun ada UU, juga cara berbisnis secara islam, waris, wakaf, hibah, wasiat tentang perbankan syariah, ekonomi syariah, dan lain-lain.
“Itu sangat luar biasa. Yang tidak ada hanya soal jinayah (kriminal) karena di negara islam lebih banyak kepada ta’zir (hukuman). Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan kadar atau bentuk hukuman itu di dalam Al Quran dan Hadits. Pokoknya Indonesia itu best model,” tukas Prof. Dede Rosyada.
Hal-hal inilah yang harus terus diberikan pemahaman kepada para mahasiswa dalam memberikan benteng agar mereka bisa menangkal propaganda radikalisme yang mengusung khilafah. Intinya, mahasiswa dan anak muda Indonesia harus bersikap inklusifisme pluralis yakni bisa menghargai keragaman, bukan eksklusifisme. Ia mencontohkan saat pendirian Republik Indonesia dulu, kalau eksklufisme itu dinilai sesuatu yang terbaik bagi bangsa Indonesia, dari awal mestinya KH Wahid Hasyim dan teman-temannya pasti mengatakan seperti itu. Tapi nyatanya mereka tidak menggunakan eksklufisme, tapi inklusif pluralis.
“Mereka itu kan kiai, orang-orang hebat semua. Mereka juga orang yang kuat keberagamannya, militansi keagamaanya juga sangat kuat, ilmunyanya juga sangat tinggi. Namun mereka dari awal mengatakan bahwa Indonesia itu harus Bhinneka Tunggal Ika, harus beragam tapi satu tujuan, yakni Indonesia menjadi sebuah negara yang adil dan makmur yang semua masyarakatnya bisa melaksanakan agamanya dengan baik. Kalau ini dipahami adik-adik mahasiswa, pasti semua sudah selesai,” papar Prof. Dede Rosada.
Prof. Dede berharap mahasiswa atau generasi muda sekarang harus bisa memahami itu dengan baik menjadikan unity in divercity (bersatu dalam keanekaragaman) menjadi pola pikir dalam bisnis, interaksi sosial dan sebagainya dan jangan menjadikan agama sebagai barier untuk komunikasi dengan lintas agama. Hal itu harus terus diberikan para pengajar kepada mahasiswa di kampus.
“Ketika kuliah mahasiswa harus perkuat profesionalisme, skill atau keahlian, lalu perlebar networking atau jejaring baik jejaring sosial dan jejaring profesional. Jadi bukan dengan orang Indonesia saja atau sesama muslim saja, karena karunia Allah ini dimuka bumi dimana-mana ada,” tuturnya.
Lalu kemudian perkuat keberagaman, konsistensi pelaksanaaan keberagamaan, perkuat aqidah sehingga tidak larut dengan godaan-godaan yang mengganggu pelaksanaan profesi, karena profesi itu dikontrol oleh aqidahnya. Tapi jangan lalu aqidah itu menjadi barier untuk berkomunikasi di luar agama kita.
Sebelumnya, Prof Dada Rosyada sebagai Ketua Forum Rektor PTKIN membacakan Deklarasi Aceh di depan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin dan 55 pimpinan PTKIN seluruh Indonesia pada pembukaan Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) VIII di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, 26 April lalu. Deklarasi berisi tentang kesepakatan menolak segala bentuk paham intoleran, radikalisme, dan terorisme. Dan pimpinan PTKIN berjanji melarang berbagai bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, dan anti-NKRI, intoleran, radikal dalam keberagamaan, serta terorisme di seluruh PTKIN.
Menurut Dede Rosyada, Deklarasi Aceh dilakukan agar PTKIN menciptakan inklusifisme, pluralisme, dan toleransi di kampus agar mahasiswa kedepan bisa bergaul dan tidak kaku terhadap banyak orang di dunia. Kedua menolak radikalisme, kenapa? Karena radikalisme itu menggangu. Radikalisme itu akan memperoleh kekerasan, lalu kekerasan berurusan dengan hukum, hukum lalu pidana karena perbuatan kriminal.
“Jadi tidak ada gunanya radikalisme itu. Intinya, kita harus perkuat ketakwaan, Insya Allah bisa hidup dengan baik. Tegakkan Al Quran, NKRI, 4 pilar yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Itu sudah menjadi komitmen kita bersama,” pungkasnya.