Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong percepatan pembahasan dan penerapan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK). Penerapan RUU tersebut diyakini meminimalisasi aliran dana untuk membiayai kegiatan terorisme.
“Pembatasan transaksi uang kartal diperlukan agar tindak kejahatan ekonomi apa pun, seperti narkoba, korupsi, maupun tindak pidana terkait pendanaan terorisme dapat dicegah lebih dini,” kata Koordinator Kelompok Kehumasan PPATK, Natsir Kongah, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/2/2021).
Natsir menilai pembahasan RUU PTUK mendesak lantaran isu pendanaan terorisme kembali mencuat. Apalagi, pencucian uang untuk mendanai terorisme cenderung menggunakan modus transaksi secara tunai.
Natsir merujuk pada hasil riset PPATK terkait Indikator Transaksi Keuangan Mencurigakan Pendanaan Terorisme 2020. Riset menunjukkan pemindahan dan penggunaan dana terorisme cenderung menggunakan penarikan tunai dengan cek.
Dana diambil sampai jumlah maksimal penarikan per hari oleh pemilik rekening di wilayah rawan terorisme. “Hal ini menunjukkan bahwa transaksi tunai masih menjadi pilihan utama dalam hal pendanaan terorisme,” ungkap dia.
Natsir menyebut RUU PTUK bakal mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana dalam bertransaksi. Beleid pembatasan transaksi uang kartal juga bakal menguntungkan pemerintah, seperti menghemat jumlah uang yang harus dicetak.
“Kemudian menghemat bahan baku uang, menghemat biaya penyimpanan uang fisik di Bank Indonesia, mengurangi peredaran uang palsu, serta mendidik dan mendorong masyarakat menggunakan sistem pembayaran yang lebih aman dan mudah dalam bertransaksi,” papar dia.
Natsir menuturkan RUU PTUK adalah salah satu rancangan kebijakan nasional yang disusun pemerintah. Tujuannya, mendorong finansial inklusi, menggalakkan program gerakan nontunai, dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
“Khususnya yang berasal dari tindak pidana yang kerap kali menggunakan transaksi tunai sebagai upaya penyamaran dan penyembunyiannya,” terang Natsir.
RUU PTUK memiliki dua substansi utama, yaitu batasan nilai berikut pengecualian atas batasan nilai transaksi uang kartal. Serta pengawasan pembatasan transaksi uang kartal.
Batasan nilai transaksi yang dapat dilakukan menggunakan uang kartal paling banyak Rp100 juta. Setiap orang yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta harus dilakukan secara nontunai melalui penyedia jasa keuangan. RUU PTUK juga mengatur 12 transaksi yang dikecualikan dari ketentuan pembatasan transaksi uang kartal.
“Untuk pengawasan penerapan RUU PTUK akan dilakukan oleh Bank Indonesia, kecuali pengawasan yang dilakukan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh PPATK,” tutur Natsir.
RUU PTUK masuk dalam long list program legislasi nasional (prolegnas) periode 2020-2024. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) selaku wakil pemerintah telah mengusulkan RUU PTUK menjadi salah satu RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas Prioritas 2020.
“Namun, ternyata usulan dari pemerintah tersebut tidak disetujui sehingga RUU PTUK tidak dapat dibahas pada 2020,” kata dia.