Jakarta – Teknologi Artificial Intelligence atau yang sering disebut dengan AI telah menjadi suatu disrupsi budaya dan peradaban manusia dengan berbagai kemudahan yang ditawarkannya. Sayangnya, kemudahan yang ditawarkan AI disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memfasilitasi sebaran konten dengan muatan yang menyesatkan, intoleran, dan bahkan radikal.
Ketua PBNU Bidang Media, IT & Advokasi H. Mohamad Syafi’ Alielha atau yang akrab disapa dengan Savic Ali, mengatakan bahwa AI telah menjadi daya tarik bagi banyak pihak di dunia. Menurutnya, AI sebenarnya telah dikembangkan sejak beberapa tahun silam, salah satunya untuk keperluan surveillance atau pengawasan terhadap potensi terjadinya kejahatan.
“Beberapa jenis keperluan seperti pelacakan kartu kredit, catatan pembelian tiket pesawat, atau yang sejenisnya, dapat digunakan menjadi data pendukung dalam pengambilan kesimpulan. Namun, kemampuan manusia tentu sangat terbatas dalam hal ini karena begitu banyaknya data yang harus diperiksa dalam kurun waktu yang sangat singkat,” terang Savic Ali di Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Ia menjelaskan pula, bahwa kemampuan pengambilan kesimpulan secara cepat seringkali jadi faktor penentu pengungkapan kasus kriminal. Hal ini bertujuan agar penegak hukum tidak kecolongan oleh para pelaku kejahatan yang menutupi perbuatannya terlebih dulu, sebelum berhasil diungkap dan dibuktikan.
Savic Ali menyebutkan, tren dalam berbagai bidang, termasuk supremasi hukum, saat ini menuju ke arah pemanfaatan AI dalam pelaksanaannya. Urgensi penggunaan AI juga disebabkan oleh para pelaku teror yang ikut menjadikan AI sebagai alat propaganda sesatnya. Berbagai teknik seperti deepfake dan chatbot nyatanya menjadi kemudahan bagi kelompok intoleran dan radikal untuk mendistorsi persepsi publik.
“Walaupun demikian, saya kira akan tetap ada kesadaran publik bahwa memang sebaran hoax cenderung lebih banyak jika dibandingkan sebelum maraknya AI. Diperlukan kedewasaan masyarakat ketika menemukan sesuatu yang dianggap tidak masuk akal, jangan lantas percaya. Sampai dengan saat ini, belum marak penyuntingan audio visual menggunakan teknik deepfake yang ditujukan khusus untuk sabotase atau aksi teror, karena masih mudah untuk dibedakan mana produk asli dan mana yang buatan AI,” ungkap Savic Ali.
Selain itu, dirinya juga menggarisbawahi bahwa banyak orang di internet secara internasional melakukan fact-checking terhadap konten-konten yang dianggap janggal. Ini sangat bermanfaat karena dapat membantu menetralisir sebaran konten bohong atau yang menyesatkan.
Dalam penanggulangan tindak kriminal, AI juga bisa digadang-gadang bisa memetakan pola kejahatan jauh sebelum tindakannya terjadi. Jika sekarang terjadi perampokan pada suatu rumah, para penegak hukum yang mengusutnya baru tiba di rumah korban setelah tindak kejahatannya selesai dilakukan. Namun dengan AI, ia bisa membaca pola pergerakan yang dianggap mencurigakan, lalu memberikan peringatan atau warning agar pihak berwenang dapat melakukan aksi preventif.
“AI bisa melakukan simulasi atau prediksi kejadian berdasarkan gambar atau perhitungan tertentu yang dimasukkan sebagai data pendukung. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang mengatur penggunaan AI, khususnya di bagian pertukaran informasi dan pencegahan tindak kriminal (preventive action) melalui surveillance atau pemantauan.” tegas Savic Ali.
Terlepas ada yang setuju ataupun tidak terhadap kehadiran AI yang mengubah banyak pola kehidupan manusia, Savic Ali mengingatkan bahwa ini adalah kenyataan saat ini yang harus dihadapi. Menurutnya, menyiapkan diri, bangsa, dan negara untuk memanfaatkan AI dan menanggulangi dampak buruknya bukan lagi suatu pilihan, namun telah menjadi keharusan.
Begitu pesatnya perkembangan AI seolah mengaburkan batasan kepantasan atau bahkan kebenaran. Pemanfaatan AI di bidang penyebaran informasi jelas akan merugikan banyak pihak jika disalahgunakan untuk memproduksi berita bohong secara cepat. Namun bagaimana jika AI ternyata sudah merambah pada dunia militer atau pertahanan?
“Banyak orang yang jelas tidak setuju akan hal ini, tapi wacana penggunaan AI di sistem persenjataan juga semakin menguat. Bayangkan saja, jika kendaraan tank dan pesawat drone nantinya bisa beroperasi tanpa diawaki, lalu alat-alat itu berhasil membunuh manusia lain, siapakah yang akan dimintai pertanggungjawaban? Hal seperti ini memerlukan kajian lebih lanjut untuk menentukan konsekuensi hukumnya,” pungkas Savic Ali.