Jakarta – Dengan majunya tekhnologi di era sekarang ini, media sosial yang ada di dunia maya merupakan bagian dari sejarah manusia yang sulit dihindari dan sulit dibendung. Bahkan dalam menghadapi tahun politik 2018 ini sebagian besar masyarakat masih sering memakai media sosial yang ada di dunia maya untuk digunakan sebagai alat untuk berkampanye dalam upaya untuk memenangkan calon pemimpin idamannya.
Namun demikian masyarakat dihimbau untuk tidak memanfaatkan media sosial dengan membawa isu SARA yang tentunya dapat menimbulkan perecahan di masyarakat. Hal tersebut dikatakan Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag.
“Agar media sosial itu dapat digunakan secara arief, tentunya dibutuhkan kecerdasan dari masyarakat pengguna media sosial itu sendiri. Lalu ketika ada informasi maka kita tidak serta merta menerima pesan informasi tersebut sebelum mengetahu secara jelas asal-usulnya,” ujar Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag kepada wartawan di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Selain itu menurutnya, masyarakat juga harus mempunyai kesadaran .transendental yaitu sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah ketika mau membuat berita. Apalagi berita itu kalau mau disampaikan ke orang lain
“Kesadaran transendental ini saya pikir sebagai benteng kita agar kita tidak mudah membuat berita berita hoax, apalagi yang bertujuan untuk memecah belah. Ini akan gawat sekali bangsa kita nantinya kalau masyarakatnya terpecah belah,” ujar peraih pascasarjana Konsentrasi Hubungan Antar Agama, Filsafat Islam dari UIN Sunan Kalijaga ini.
Dikatakannya, saat dirinya sering menyampaikan dalam khotbah ataupun dalam pengajian bahwa pergatian kepemimpinan itu adalah sesuatu yang biasa. Dan karena itu tidak perlu kemudian dianggap terlalu serius dan membuat masyarakat kita menjadi terpecah belah atau terpisah.
“Saya sampaikan bahwa karena ini adalah acara kegiatan politik yang rutin maka kita tidak boleh memperpanjang persoalan terutama yang terkait dengan hal-hal membuat masyarakat kita ini terpecah. Jadi perbedaan pilihan itu karena kita punya alasan tersendiri dan punya rasionalisasinya,” ujarnya.
Dirinya juga mengkhawatirkan penggunaan isu SARA di dunia maya ini dimainkan oleh kelompok-kelompok yang ingin membuat masyarakat bangsa ini terpecah atau bukan tidak mungkin juga digunakan oleh kelompok radikal dengan ,membawa nama-agama. Apalagi kalau yang melihat informasi itu adalah orang yang awam.
“Ini yang harus kita waspadai. Dalam berbagai kesempatan saya juga sering menyampaikan bahwa kita tidak perlu menggunakan bahasa agama dalam pilkada nanti. Karena bahasa agama itu sangat sensitif dan takutnya bisa salah gunakan oleh kelompok kelompok tertentu atau kelompok radikal untuk memecah belah masyarakat,” katanya.,
Menurutnya, orang akan mudah tersentuh dan mungkin juga akan sangat emosional ketika agamanya itu merasa dihina, dicaci maki dan sebagainya. Karena dengan pengurangan penggunaan bahasa agama ini juga bagian dari cara kita untuk memelihara kondisi sosial.
“Jadi hindarilah menggunakan bahasa agama, tidak usah memakai dalil macam-macam misalnya mengatakan tidak usah memilih orang yang beda agama dari dalil ini, atau menyebut bahasa agama untuk dialamat kan kepada orang lain yang beda agama, tentunya itu tidak pas,” kata pria kelahiran Cirebon, 10 Oktober 1972 ini.
Diakuinya selama ini isu SARA paling mudah digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memecah belah masyarakat “Karena memang isu SARA itu yang paling laku. Kalangan elit pun sebenarnya juga paham bahwa kalau sudah pakai isu SARA itu ‘sumbu pendek’nya itu sangat mudah dan enak. Itu sebenarnya yang harus dihindari kalangan elit ini,” ujarnya
Padahal menurutya, agama pun telah melarang penggunaan isu SARA untuk disampaikan ke masyarakat untuk tujuan memecah belah. Namun dikarenakan kepentingan yang pragmatis tentunya masyarakat sendiri juga sudah lupa terhadap hal seperti itu.
“Jadi bagi saya baik di kalangan elit dan masyarakat harus sama-sama bisa menahan diri. Yang elit jangan memanfaatkan atas nama masyarakat dan yang masyarakat pun juga jangan ikut-ikutan serta merta dengan kalangan elit ini,” ucapnya.
Selain itu menurutnya, meskipun di masyarakat kita ini punya tokoh panutan karena kita ini adalah masyarakat patrilineal yakni suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah, yang patronasenya cukup tinggi, namun bukan berarti kita tidak boleh kritis.
“Kita tetap harus kritis karena bisa jadi orang yang kita ikuti sebenarnya juga punya kepentingan. Kepentingannya itu bisa jadi tidak sampai turun kebawah. Nah hal-hal seperti itu yang sering saya sampaikan dalam forum-forum dan khotbah ataupun pengajian itu,” tuturnya.
Untuk itu menurutnya, diperlukan peran pemerintah untuk lebih tegas dalam mememperkuat atau mempertegas dala mmelakukan penindakan jika isu SARA itu masih muncul baik di dunia maya atauoun di dunia nyata.
“Itu penting sekali, pemerintah harus tegas karena regulasinya sudah ada, yang mana hate speech itu harus ditindak lanjuti. Karena kalau orang yang menyebarkan hate speech itu tidak ditindaklanjuti maka orang akan terus memproduksi itu. Regulasi-regulasi yang sudah ada dan sudah dirumuskan itu harus diberlakukan,” ucapnya.
Berkaca pada Pilkada 2017 lalu menurutnya, kekurang tegasan pemerintah dalam melakukan penindakan ini dikarenakan ada penilaian dari berberapa kalangan masyarakat yang mengatakan kalau penindakan tersebut diterapkan maka seperti menimbulkan ketidakadilan terhadap beberapa pihak..
“Yang saya lihat dalam Pilkada DKI lalu ada kesan seperti itu . Ada kesan bahwa ada tebang pilih atau kriminalisasi ulama. Itu dikarenakan penerapannya itu tidak komprehensif. Maksud saya tidak harus menunggu momen ada Pilkada atau Pilpres. Dalam situasi normal pun menurut saya agar menurut saya itu dalam kehidupan biasa pun juga harus dipantau agar masyarakat yang awam ini tidak mudah terpengaruh,” ujarnya mengakhiri.