Jakarta – Tingkat literasi masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah, sementara serbuan informasi dari teknologi dan komunikasi saat ini sangatlah kuat. Salah satu dampak dari minimnya literasi masyarakat di media sosial adalah munculnya efek negatif seperti suburnya hoaks, fitnah, ujaran kebencian dan provokasi.
Pengamat media sosial (medsos) Dr. Rulli Nasrullah, M.Si mengatakan bahwa medsos dapat menjadi alat yang luar biasa untuk menggerakkan massa. Apalagi dengan makin maraknya kecenderungan provokasi di medsos menjadi semakin liar. Ironisnya, masyarakat banyak yang tidak sadar dengan disinformasi di medsos.
”Saya pikir memang perlu kebijaksanaan yang luar biasa untuk menyikapi realitas yang ada di medsos. Karena biasanya yang memprovokasi itu sering memotong-motong realitas yang ada, jadi tidak secara utuh informasi itu disampaikan,” ujar Dr. Rulli Nasrullah, M.Si di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Salah satu disinformasi yang kini sedang ramai adalah adalah pernyataan Presiden Prancis Emmanuel tentang Islam dan terorisme memunculkan gelombang kecaman yang luas di medsos. Bahkan di negara-negera Islam, termasuk Indonesia, pernyataan itu memicu untuk memboikot produk Prancis dan berbagai provokasi lainnya.
Oleh sebab itu Rulli menegaskan bahwa dalam menggunakan medsos itu seseorang tidak boleh emosi. Karena penyebab berkembangnya hoaks, radikalisme dan terorisme di medsos salah satunya adalah karena emosinya dimainkan oleh para provokator. Rulli mengingatkan, ketika melihat sebuah foto, atau sebuah pernyataan untuk jangan buru-buru langsung ditafsirkan.
”Kita tunggu dulu, ditanyakan dulu kepada orang yang lebih ahli. Sehingga kita bisa melihat konten itu sebenarnya maksudnya seperti apa. Saya melihat ini yang dimainkan oleh pihak-pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab untuk memainkan isu-isu seperti itu,” tuturnya.
Pria yang juga merupakan Dosen Magister Ilmu Komunikasi di IISIP Jakarta ini menyampaikan bahwa dari pengalamannya selama menjadi tim literasi digital di Kominfo dan Kemdikbud, ia dan timnya telah banyak melakukan promosi dan diseminasi informasi. Tetapi pada akhirnya, itu semua kembali kepada kedewasaan masing-masing pengguna medsos.
”Saya melihatnya yang kena hoaks itu tidak hanya masyarakat biasa, ada seorang Profesor, ada seorang guru besar, ada tokoh pers juga bahkan pernah ikut menyebarkan hoaks juga. Dan itu menjadi persoalan karena memang kembali ke si penggunanya itu sendiri,” terangnya.
Ia berharap agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah informasi yang ada. Kemudian media massa mainstream juga harus ikut berperan juga. Karena menurutnya, media massa apapun saat ini pasti memiliki medsos. Kalau di media saluran utamanya seperti koran, tv, radio tapisan (filternya) sudah banyak, tapi menurutnya kadang-kadang di medsos ini mereka main retweet saja.
”Nah seringkali persoalannya lebih kepada mereka memiliki medsos yang beberapa case memang sering ngeshare, sering ngetweet berita-berita atau fakta-fakta yang cenderung hoaks tanpa dicek lebih jauh terlebih dahulu,” jelasnya.
Rulli menyebut, media sebagai pilar keempat demokrasi selain bertugas mengungkapkan kebenaran, tetapi disisi yang lain juga media massa harus menekan agar disinformasi, hoaks dan berita yang misleading itu tidak sampai tersebar lebih jauh.
”Media massa harus memastikan bahwa semua sumbernya terutama sumber-sumber yang berasal dari internet dan medsos itu harus dipastikan kebenarannya,” tukasnya.
Oleh karena itu ia mengingatkan agar jangan sampai karena alasan harus mengejar waktu cepat tayang kemudian media massa tidak melakukan konfirmasi maupun cek dan ricek. Karena hal seperti itulah fakta yang tidak benar itu akhirnya menjadi terpublikasikan.
”Jadi selain membuat pemberitaan ataupun konten untuk dipublikasikan. Tetapi media massa juga harus mempertanggung jawabkan konten itu,” ujarnya.
Selain itu Rulli menyebut peran tokoh masyarakat juga penting untuk melawan hoaks dan provokasi di medsos ini. Maka menurut Rulli, para tokoh masyarakay harus memperhatikan apa-apa saja yang bisa dia publikasikan, apa-apa saja yang bisa dia sampaikan, agar jangan sampai memicu gerakan-gerakan destruktif lebih lanjut yang berhubungan dengan hoaks maupun radikalisme ini.
”Dalam teori komunikasi juga, publik figure, tokoh masyarakat seringkali menjadi seseorang yang dekat dengan masyarakat itu sendiri. Sehingga semua pernyataannya kerap lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan informasi yang disebarkan oleh media,” tukas Rulli.
Rulli menyampaikan bahwa tokoh masyarakat harus benar-benar bisa memilih dan memilah mana informasi yang hoaks dan mana informasinya yang benar. Kemudian dia juga harus bertanggung jawab sebelum mempublikasikan informasi yang dia miliki ke media massa ataupun medsos.
”Tokoh masyarakat harus turut aktif menghentikan penyebaran-penyebaran konten hoaks dan radikalisme. Dan secara aktif juga melakukan antisipasi di medsos sebelum membuat suatu pernyataan,” pungkasnya.