Jakarta – Polisi Prancis menggerebek rumah puluhan tersangka militan Islam pada Senin (19/10/2020) waktu setempat, tiga hari setelah pemenggalan kepala seorang guru usai menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada murid-muridnya.
Penggerebekan itu terjadi sehari setelah puluhan ribu orang mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa di seluruh negeri untuk menghormati guru Samuel Paty yang terbunuh dan untuk membela kebebasan berekspresi.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (19/10/2020), gerakan terhadap jaringan tersangka militan ini dirancang untuk mengirim pesan bahwa “musuh Republik” tidak akan menikmati waktu istirahat semenit pun.
Dia mengatakan lebih dari 80 investigasi telah diluncurkan terhadap ujaran kebencian online setelah serangan pemenggalan itu. Serangan itu mengingatkan kembali akan pembantaian 2015 di majalah satir Charlie Hebdo, di mana 12 orang ditembak mati karena menerbitkan kartun Nabi Muhammad.
Pada hari Minggu (18/10/2020) waktu setempat, orang-orang berkumpul di Place de la Republique di Paris untuk menunjukkan solidaritas usai pemenggalan Samuel Paty. Beberapa di antara kerumunan meneriakkan “Saya Samuel”, menggemakan seruan “Saya adalah Charlie” pada tahun 2015 oleh para pendukung kebebasan berbicara.
Paty (47) dibunuh dalam perjalanan pulang dari sekolah tempat dia mengajar di pinggiran barat laut Paris. Foto sang guru dan pesan yang mengakui pembunuhannya ditemukan di ponsel pembunuhnya, seorang remaja Chechnya berusia 18 tahun, Abdullakh Anzorov, yang ditembak mati oleh polisi.
Sebelas orang ditahan atas serangan itu, termasuk seorang militan Islam yang terkenal dan ayah dari salah satu murid Paty yang mencela dia secara online dan menyerukan pemecatannya.
Keluarga Anzorov tiba di Prancis ketika dia berusia enam tahun dari Republik Chechnya yang mayoritas Muslim di Rusia. Empat anggota keluarganya, yang mencari suaka di Prancis, telah ditangkap untuk diinterogasi.
Selain menggerebek puluhan militan itu, otoritas Prancis juga bersiap untuk mengusir 231 warga negara asing (WNA) yang masuk daftar pengawasan pemerintah karena diduga menjadi ekstremis.
Seperti dilansir Reuters, Senin (19/10/2020), rencana pengusiran para ekstremis itu disampaikan oleh sumber dari serikat kepolisian setempat seperti dilaporkan media Europe 1. Kementerian Dalam Negeri Prancis, yang bertanggung jawab atas pengusiran warga asing, belum memberikan konfirmasi atas laporan tersebut.