Jakarta – Terorisme merupakan ancaman nyata yang kita hadapi sebagai permasalahan bangsa. Upaya pemberantasan terorisme memerlukan strategi yang menggunakan pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach).
Pendekatan keras terdiri dari berbagai tindakan keamanan dan penegakan hukum yang selama ini dilakukan aparat penegak hukum seperti Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri yang juga dibantu dari aparat TNI
Sedangkan pendekatan lunak terdiri dari berbagai program pencegahan agar serangan terorisme tidak terjadi seperti apa yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini yakni dengan melakukan sebuah pendekatan terhadap para mantan pelaku teror
Hal tersebut disampaikan Direktur Perlindungan BNPT, Brigjen Pol. Herwan Chaidir dalam sambutannya saat Focus Group Discussion (FGD) 1I Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan Objek Vital Ketenagalistrikan dan FGD I Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam Menghadapi Ancaman Terorisme. di Hotel Cipta, Jakarta, Selasa (23/5/2017).
“Pencegahan terorisme tidak hanya menjadi tanggung jawab satu kementerian atau lembaga pemerintahan seperti BNPT saja, namun upaya pencegahan terorisme harus melibatkan masyarakat, karena akar terorisme terkait dengan faktor-faktor korelatif yang tidak tunggal seperti ideologi, sejarah, ekonomi, psikologi, aspek keamanan dan politik,” ujar Brigjen Pol. Herwan Chaidir.
Dijelaskan pria yang pernah menjadi Kabid Pencegahan Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri ini mengatakan, dengan melihat kejadian dengan masih banyaknya terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88/Anti Teror Polri pada akhir-akhir ini maka ancaman terhadap teror di Indonesia masih sangat tinggi sekali.
“Kalau negara ini lengah bukan tidak mungkin aksi pengeboman terhadap fasilitas-fasilitas umum akan kembali terjadi, Seperti yang terjadi tadi malam (Senin, 22 Mei 2017) terjadi bom saat pertujukan acara konser Ariana Grande di Manchester Arena, London yang diduga bom bunuh diri yang diduga dilakukan kelompok teror seperti ISIS, ” kata alumni Akpol tahun 1987 ini
Dengan melihat kejadian tersebut maka pihaknya merasa perlu untuk menyusun Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Penyusunan Buku Panduan Sistem Keamanan di Obyek Vital Ketenagalistrikan dalam Menghadapi Ancaman Terorisme dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) sebagai tindak lanjut dengan telah di sosialisasikannya SOP (Standar Operational Prosedur) Penanganan Aksi Terorisme di lingkungan Lapas di Palembang dan sosialisasi SOP Penanganan Aksi Terorisme di lingkungan Objek Vital Ketenagalistrikan di Batam pada tahun 2016 lalu.
“Untuk itu inilah yang coba kita bahas dalam penyusunan buku ini yaitu kita ingin menyusun suatu buku panduan pengamanan di Lapas dan instalasi obyek vital khususnya ketenagalistrikan. Karena buku ini nantinya bisa dikatakan sebagai kitab suci bagi SPK yang ada di seluruh Indonesia jika terjadi ancaman terorisme,” ujar mantan Kapolres Gorontalo dan Kapolres Pohuwato ini.
Karena menurut pria kelahiran Palembang 7 Oktober 1963 ini, sistem pengamanan lingkungan yang diterapkan oleh Lapas dan obyek vital Ketenagalistrikan baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang strategis dalam memberikan kontribusi pada pengamanan demi terwujudnya pembangunan nasional.
“Tidak bisa dibayangkan misalnya Gardu Induk milik PLN yang ada di Suralaya atau mungkin PLTU yang ada di Paiton mendapatkan serangan dari kelompok terorisme. Bagaimana kacaunya negara ini kalau listrik di Jawa sebagai pusat pemerintahan Indonesia saja mati. Perekonomian gtentunya akan lumpuh,” kata alumni Lemhanas angkatan 47 tahun 2012 ini.
Untuk itu dirinya berharap buku ini nantinya punya kualitas yang cukup baik dengan dikumpulkan para pemangku kepentingan yang punya kompetensi untuk menyusun buku tersebut. Karena penyebaran buku tersebut akan dilkasanakan di seluruh Indonesia sehingga bisa dijadikan acuan jika terjadi ancaman terorisme khusunya di lingkungan Lapas dan juga di lingkungan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pamangku kepentingan.
“Untuk itu saya berharap ada peran serta masukan kongkrit dalam pemikiran dari semua pemangku kepentingan yang hadir disini dalam penyusunan buku ini. Karena outputnya buku ini ya untuk Lapas dan PLN sebagai penyedia pembangkit listrik nasional itu sendiri nantinya jika terjadi ancaman terorisme. Sehingga tahu apa yang dilakukan pertama kali dan selanjutnya jika terjadi ancaman terorisme” kata pria yang mengawali karir polisinya sebagai Kanit Resintel Polses Ciputat di lingkungan Polda Metro Jaya ini mengkakhiri.
Seperti diketahui, guna memaksimalkan penyusunan buku tersebut, FGD ini dihadiri stakeholder atau pemangku kepentingan seperti dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri, Detasemen Khusus (Densus) 88, Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Pemadam Kebakaran, kalangan akademisi dan juga praktisi serta peneliti.