Budayakan Kembali Wajib Lapor 1×24 Jam Untuk Minimalisir Ancaman Terorisme

Jakarta – Penindakan terhadap setiap orang yang melakukan aksi terorisme, secara jelas dan detail tercantum dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018, terutama pada pasal 10A dan 12A. Hal ini dipaparkan oleh anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra, pada sesi dialog di depan peserta Rapat Koordinasi Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Pendamping Sasaran Deradikalisasi Wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung di Jakarta, Rabu (13/3/2019).

Oleh karena itu, Supiadin sangat menekankan bahwa seluruh instansi dan lapisan masyarakat wajib ikut membantu dalam program kontra radikalisasi dan deradikalisasi di wilayah kerjanya masing-masing.

“Saya sudah sering sampaikan di media, keluarkan instruksi kepada gubernur dan bupati agar mengaktifkan kembali sistem wajib lapor 1×24 jam. Apalagi jika mengontrak dalam jangka lama dan bukan penduduk setempat. Itu harus dicek.” jelas Supiadin sambil mencontohkan sistem yang sudah pernah diterapkan ketika beliau tinggal di Bali, yaitu berkoordinasi dengan pecalang dan Babinsa setempat pasca Bom Bali I, untuk diterapkan secara nasional.

Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar radikalisme terorisme. Supiadin menekankan kontra radikalisasi ini ditujukan kepada masyarakat yang berpotensi terkena radikalisme terorisme, sehingga dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme.

Terkait dengan hal tersebut, Supiadin menyampaikan harapannya agar sepulang dari rapat koordinasi kelompok kerja ini, para peserta dapat menerapkan sistem tersebut, baik melalui otoritas gubernur, maupun bupati. Contoh budaya lainnya yang dapat kembali digalakkan dalam rangka bersinergi antar lapisan masyarakat untuk mengurangi ancaman terorisme adalah kegiatan siskamling. Melalui siskamling, masyarakat dapat lebih saling mengenal warga yang tinggal di lingkungannya.

Sedangkan program deradikalisasi ditujukan untuk tersangka, terdakwa, terpidana dan narapidana melalui (a) Identifikasi; (b) Rehabilitasi; (c) Reedukasi; (d) Reintegrasi Sosial. Pada program ini, Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasdem tersebut menekankan pada tahap reintegrasi sosial yang juga perlu dipahami oleh seluruh jajaran dalam instansi dan lapisan masyarakat, yaitu ketika para mantan napi terorisme dan terorisme kembali ke tengah masyarakat.

Lebih lanjut, Supiadi menjelaskan pengalamannya dalam menerapkan program reintegrasi Sosial di Ace, “Saya waktu di Aceh, berpikir bagaimana mantan GAM bisa kembali hidup ke tengah-tengah masyarakat secara normal tanpa rasa takut. Maka saya bikin program yang namanya Reintegrasi Nasional. Pertama semua kembali kepada kehidupan normal, jadi tidak boleh lagi ada budaya GAM yang suka mengancam itu. Kedua hilangkan kultur konflik, lalu ketiga penegakan hukum yang tegas dan tuntas, yaitu tegas dalam penindakan, tuntas dalam penyelesaian. Keempat wujudkan kesejahteraan mereka.”

Di akhir paparannya, Supiadin kembali menekankan harapannya kepada peserta rapat koordinasi yang telah terbentuk dalam kelompok-kelompok kerja ini untuk menyusun sebuah program yang terpadu di daerah yang mengarah kepada program deradikalisasi.