Brigjen Pol Hamidin dalam paparannya di depan kabid-kabid penerangan kementerian agama RI se-Indonesia pada rapat koordinasi penyusunan tim cyber anti radikalisme dan narkoba yang diselenggarakan di hotel Mercure, 14 Juni 2016 menyebutkan bahwa terdapat sejumlah oknum-oknum yang mengaku dirinya sebagai pejuang Islam seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tetapi sama sekali tidak memahami agama secara benar bahkan tidak bisa mengaji dan memimpin sholat. lebih mengerikan lagi karena mereka justru membuat tato-tato perempuan di tubuhnya. Ia mencontohkan beberapa oknum MIT yang ditemuinya saat kunjungan ke Poso.
Hamidin menegaskan bahwa jika orang-orang seperti itu yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang Islam kemudian kita mengaguminya sebagai pejuang maka sangat miris sekali dan tentu jika kita melihat langsung beberapa personil MIT maka kita akan kecewa. Ironisnya karena media justru membesar-besarkan para teroris dimaksud. Misalnya kasus Santoso yang dibesar-besarkan oleh media massa termasuk media asing sehingga orang China pun banyak yang tertarik untuk bergabung ke dalam kelompok Santoso karena kagum atas kehebatan Santoso. Padahal bagi kita Santoso bukanlah orang besar.
Media cenderung selalu ingin menarik perhatian walaupun beda dengan kenyataan misalnya ketika terjadi pemboman Thamrin, tiba-tiba salah satu TV juga menyebutkan bahwa juga terjadi pemboman secara bersamaan di Slipi dan Kuningan. Berita itu membuat kaget semua massa akan tetapi polisi justru bertanya tanya sejauh mana kebenaran berita itu karena aparat selama ini paham betul tentang terroris yang ada di Indonesia.
Dikatakan bahwa jika media ingin objectif maka sebaiknya ia juga memberitakan hal-hal yang positif seperti penangkapan teroris oleh aparat di Surabaya baru baru ini. Jika itu dibiarkan maka bom dan senjata yang dimiliki teroris itu lebih dahsyat dari yang ada di Thamrin tapi itu tidak diberitakan secara masif oleh media.
Menurutnya bahwa mekanisme penanganan terorisme di Indonesia memiliki keistimewaan yang jauh lebih baik dibanding dengan negara-negara lain. Di Indonesia sistim penanganan dimulai dari hulu ke hilir, seperti pencegahan dan rehabilitasi bagi kelompok-kelompok teroris yang telah sadar termasuk anak-anak mereka yang dikhawatirkan juga akan menjadi teroris jika tidak menjadi perhatian pemerintah. Oleh kaena itu pemerintah secara serius menyediakan semua perangkat untuk menanggulangi fenomena terorisme dengan berbagai cara dan kegiatan yang dipastikan tidak akan mengakibatkan radikalisme atau ekstrimisme atas nama agama termasuk Islam.
Dalam menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan isu-isu Densus dan penangkapan serta isu-isu lainnya menurutnya bahwa mekanisme dan Standar Operasi Prosudur dalam penangkapan apapun semuanya dilakukan secara prosedur dan sesuai dengan standar. Jika ada kesalahan maka itu biasanya kesalahan personil yang sering kali tidak dilaporkan ke atasan. Jika kejadian kejadian aneh yang dilakukan oleh Densus sebagaimana yang diberitakan media massa maka sungguh aneh jika itu yang melatarbelakangi tututan pembubaran Densus. Persoalannya kembali lagi ke media yang bermain di sini yang selalu menyalahkan Densus padahal kita semua sadar bahwa terorisme adalah salah satu tantangan dan ancaman yang harus dihadapi secara bersama karena tidak ada satupun diantara kita yang rela jika negara kita menjadi sasaran terorisme.