Jakarta — Brigjen Pol Hamidin, Direktur Pencegahan BNPT dalam paparannya pada dialog yang diselenggarakan di hotel Kartika Chandra tanggal 9 Juni 2016 mengatakan bahwa pada dasarnya terorisme di Indonesia bersumber dari keinginan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia atau menggantikan Pancasila dengan idiologi Islam. Kartosuwiryo misalnya, adalah penganut paham komunis akan tetapi ia kemudian memberontak sehingga diasingkan dan kemudian membentuk gerakan pemberontakan baru yaitu mendirikan negara Islam Indonesia atau yang disebut dengan NII.
NII ini, kemudian mendapat sambutan dari berbagai daerah termasuk di Sulawesi Selatan akhirnya juga berdiri DI TI yang juga melawan pemerintah dan anti pemerintahan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi ketika itu yang bermuara untuk melakukan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Dalam mengatasi isu pemberontakan tersebut pemerintah menggunakan operasi militer dalam menghadapi gerakan itu. Namun pemberontakan ini terus melakukan berbagai kegiatan-kegiatan melawan pemerintah. Aksi terorisme terus berlanjut hingga era Soeharto dan pada era Soeharto menggunakan pendekatan yang berbeda dengan sebelumnya. Soeharto menggunakan pendekatan intelligent dan semua tindak-tindak kekerasan atau yang ingin melawan pemerintah menggunakan penyelesain inteligen.
Dalam sejarahnya, terorisme dapat dikatakan bahwa mulai dari era Soekarno hingga Soeharto sudah ada secara terus menerus berkembang secara rahasia hingga saat ini. Namun di era reformasi ini dan era global, para teroris telah menggunakan gaya baru yaitu dunia informasi dan teknologi.
Sejak tahun 1985 kelompok teroris mulai berwawasan internasional. Berbeda dengan sebelumnya dimana mereka hanya berorientasi lokal. Hal ini dapat dilihat sikap terorisme yang mulai menjadikan Borobudur sebagai sasaran, mengingat Borobudur merupakan salah satu situs yang berada di bawah perlindungan UNESCO atau PBB.
Kemudian selanjutanya sel-sel tcrorisme ini terus berlanjut hingga mereka hijrah ke Afganistan pada tahun 1993. Dari tahun inilah arah sel-sel terorisme mulai berkiprah di dunia internasional dengan hijrah ke Afghanistan membantu sesamanya di sana yang sedang berperang melawan pemerintah Uni Soviet.
Pada era reformasi yang bersamaan dengan kepulangan kelompok-kelompok teroris yang telah hijrah ke Afghanistan dan mereka yang bermukim di Indonesia mulai melakukan aksi-aksi nyata sebagaimana yang kita saksikan pada periode tahun 2000 dimana terjdi sejumlah peledakan bom di gereja dan kedubes asing dan juga pemboman Bali. Inilah wujud nyata aksi terorisme di masa kini dan dipastikan tidak akan berhenti sampai mereka mencapai cita-citanya.
Yang menarik bagi pemerintah Indonesia karena aparat keamanan telah mampu mengungkap jaringan teroris di Indonesia, berbeda dengan negara lain yang sampai saat ini mereka belum mampu mengungkap akar terorisme di negara mereka seperti AS.
Kita harus terus waspada karena kini muncul generasi baru terorisme yang ditandai dengan munculnya ISIS. Ini semakin mengkhawatirkan karena ISIS memiliki jaringan di Indonesia termasuk mereka yang di Poso.
Para kelompok teroris ini telah membagi wilayah ini ke dalam sejumlah mantiqa atau wilayah dan masing-masing wilayah memiliki komandan.
Terorisme memiliki jaringan antara satu dengan yang lainnya dan saling memiliki keterkaitan kekeluargaan antara satu dengan yang lain.