Indonesia dalam berbagai aspek telah menorehkan capaian keberhasilan dalam penanggulangan terorisme. Karena kegigihan upaya penanggulangan terorisme, ruang kelompok teroris dan jaringanya untuk bermanuver lebih jauh telah dibatasi dan kemampuan mereka dalam mengembangkan teknik, taktik dan aksi kekejaman teror di lapangan sejauh ini sudah menurun drastis. Walaupun demikian, berbagai ancaman terorisme tentu saja masih menjadi ancaman.
Terorisme merupakan fenomena kompleks, karena itulah dibutuhkan pendekatan komprehensif yang mencakup area yang luas mulai dari pencegahan, pemutusan jaringan, pengungkapan berbagai kasus teror, hingga pengurangan dampak dari kejadian teror, sehingga kerusakan dapat ditanggulangi secara efektif. Karena itulah penanggulangan terorisme dengan menggunakan pendekatan penegakan hukum (hard approach) semata belum cukup efektif dalam mencegah berulangnya aksi terorisme, dan seringkali memicu pertentangan di tengah masyarakat, bahkan memunculkan rasa dendam yang tinggi terhadap aparat penegak hukum.
Terlalu kuatnya aspek penindakan terhadap tindakan teror salah satunya telah menimbulkan beberapa kritik tajam, terutama pada aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam beberapa kasus penangkapan tersangka teroris banyak sekali pengamat selalu mengkritisi pendekatan penanggulangan terorisme yang kerap melanggar prinsip HAM. Isu HAM semakin menjadi pembicaraan yang menarik dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, terutama dengan adanya rencana revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana Terorisme tentang terorisme.
Dalam hembusan kritik tersebut terkadang terdapat salah kaprah dalam mengalamatkan sebuah kritikan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kerap diposisikan sejajar dengan apparat penegak hukum dalam penanggulangan terorisme. Bahkan terdengar menggelikan jika dikatakan BNPT telah melanggar HAM dalam melakukan penindakan. Karena itulah, saya kira penting ditegaskan bahwa posisi BNPT bukan bagian dari crimnal justice system (CJS) dalam penanggulangan terorisme. Dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2010 yang kemudian dirubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2012 secara tegas disebutkan bahwa tugas pokok BNPT adalah menyusun kebijakan dan strategi nasional, mengkoordinasikan pelaksanaan program nasional dan membentuk satuan tugas dalam rangka penanggulangan terorisme.
Dalam konteks makro, tugas pokok BNPT dalam penanggulangan terorisme, sebenarnya lebih diarahkan pada permumsan kebijakan, strategi dan pendekatan yang mampu menyentuh akar permasalahan, yaitu ideologi terorisme. Menyadari hal itu aspek pencegahan sebagai garda depan penanggulangan terorisme yang dikembangkan oleh BNPT selama ini adalah pendekatan lunak (soft approach) yang ingin menyentuh dari hulu hingga hilir persoalan terorisme.
Saya sangat sepakat dan sejalan dengan arah kebijakan BNPT bahwa penanggulangan terorisme bukan pendekatan perang melawan terorisme (war against terrorism). Melawan terorisme adalah melawan tindakan kekerasan yang dimotivasi oleh ideologi. Sebagaimana Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan bahwa terorisme adalah tindakan criminal yang dimotivasi oleh ideology politik yang harus didekati dengan pendekatan penegakan hukum dan HAM.
Dalam implementasi kebijakan sejalan dengan 4 pilar Global Counter Terrorism PBB: 1) langkah-langkah dalam mengatasi dan menangani kondisi yang kondusif bagi penyebaran terorisme, 2) langkah-langkah dalam mencegah dan memberantas terorisme, 3) langkah-langkah meningkatkan kapasitas dan kemampuan, dan 4) langkah-langkah dalam menjamin HAM dan aturan hukum sebagai basis dalam pemberantasan terorisme, Indonesia mengembangkan strategi penanggulangan terorisme dalam lima cakupan lintas sektoral yang saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain yakni : Pencegahan, mencakup deradikalisasi dan kontra radikalisasi, pemutusan; Penegakan hukum; Pembinaan kemampuan dan Kerjasama internasional.
Deradikalisasi atau Disengagement?
Salah satu persoalan yang kerap menjadi bumbu kritik dalam penanggulangan terorisme adalah program deradikalsasi. Saya perlu menegaskan bahwa terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat.
Merubah kognitif bukan perkara mudah. Sementara banyak yang secara tidak paham mengatakan bahwa program deradikalisasi belum menghasilkan keberhasilan. Jika proses seseorang menjadi radikal atau mengalami radikalisasi membutuhkan waktu panjang begitupula proses melakukan deradikalisasi juga membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Pendekatan disengagement memang banyak dinilai sebagai pendekatan alternatif yang yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan pendekatan deradikalisasi yang terkesan “ekstrim”. Pendekatan disengagement dipilih mengingat merubah ideologi dan keyakinan bukan proses instan. Terlebih, derajad radikal tidaknya seseorang sulit diukur. Jika deradikalisasi menekankan pada perubahan ideologi pelaku teror, maka disengagement “hanya” berupaya untuk merubah pelaku teror untuk “membenci” tindakan kekerasan tanpa harus meninggalkan ideologi yang diyakininya.
Dalam melakukan pendekatan lunak dalam penanggulangan terorisme, Indonesia sejatinya telah menjalankan deradikalisasi dan disengagement secara bersamaan. Sasaran program ini adalah para warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme, serta mantan WBP dan keluarganya. Sudah banyak contoh keberhasilan dari program tersebut yang bisa dilihat beberapa mantan teroris bahkan tokoh kunci yang telah berubah dan meninggalkan ideologi kekerasan.
Ke depan, langkah kebijakan dan dengan pendekatan lunak dengan tetap respek terhadap HAM yang dilakukan oleh BNPT harus mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pelibatan seluruh komponen bangsa dalam program ini sangat dibutuhkan dan menjadi penentu keberhasilan penanggulangan terorisme di Indonesia.