Jakarta – Masyarakat internasional selama ini telah menyatakan, bahwa Islamic State Iraq and Suriah (ISIS) merupakan salah satu organisasi teroris. Pernyataan ini tercermin pada Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2253 (2015) yang menjatuhkan sanksi kepada individu dan entitas yang terafiliasi dengan ISIS berupa pemblokiran aset secara serta merta (freezing without delay), arm embargoes, dan travel ban.
Meningkatnya jumlah penanganan perkara tindak pidana terorisme dan tindak pidana pendanaan terorisme yang melibatkan ISIS pada periode 2014 hingga saat ini, telah menunjukan bahwa ISIS merupakan ancaman bagi keselamatan dan keamanan Indonesia dan negara-negara di dunia.
Untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme secara maksimal, perlu diikuti upaya lain dengan memanfaatkan mekanisme penelusuran aliran dana (follow the money) yang turut diikuti dengan upaya pencegahan lainnya.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Direktorat Perangkat Hukum Internasional (PHI) di Kedeputian III bidang Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meluncuran “White Paper” Pemetaan Risiko Pendanaan Terorisme Jaringan Teroris Domestik yang Terafiliasi dengan Islamic State Iraq and Suriah (ISIS), di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (27/9/2017)
“White Paper ini merupakan hasil pemetaan terhadap jaringan teroris domestik yang terafiliasi dengan ISIS, termasuk pemetaan hubungan jaringan teroris domestik dengan jaringan teroris regional yang terafiliasi dengan ISIS,” ujar Direktur PHI BNPT, Brigjen Mar. Yuniar Ludfi, di sela-sela acara.
Selain itu menurutnya, White Paper ini juga berisi tentang pemetaan jaringan teroris domestik yang berperan melakukan pendanaan terorisme, serta mekanisme pendanaan terorisme, baik yang bersumber dari pengumpulan dana oleh jaringan teroris domestik maupun yang bersumber dari ISIS dan jaringan teroris regional yang terafiliasi dengan ISIS.
“Dimana kami juga ingin menyampaikan faktor-faktor ancaman dan kerawanan pendanaan terorisme, sekaligus menyampaikan rekomendasi bagi seluruh instansi pemerintah dalam rangka penanggulangan terorisme dan pendanaanya,” ujar alumni AAL tahun 1986 ini.
Pria yang pernah menjabat sebagai Wadan Lantamal VIII/Manado ini juga mengatakan bahwa penyampaian White Paper ini dilakukan juga dalam rangka peran pentingnya untuk mendukung penilaian Indonesia Mutual Evaluation (ME) yang prosesnya dimulai sejak bulan Mei 2017 hingga tersusunnya rencana kegiatan ini.
“Sehingga dapat terlaksananya salah satu bentuk kerjasama kementerian/lembaga terkait dalam hal pemenuhan standar kepatuhan hukum internasional terkait 1999 Convention of the Suppression of the Financing Terrorism,” ujar mantan Wadan Pasmar 2 Jakarta ini.
Seperti diketahui, propaganda radikalisme yang dilakukan oleh ISIS telah mendorong beberapa jaringan teroris domestik di Indonesia, serta simpatisan untuk secara sukarela menjadi pihak yang terafiliasi dengan ISIS. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya ancaman terorisme yang dilakukan oleh jaringan teroris domestik dan simpatisan dimaksud baik yang dilakukan secara terorganisasi maupun secara individual (lone wolf).
Selain itu, propaganda radikalisme yang dilakukan oleh ISIS juga berdampak pada meningkatnya jumlah foreign terrorist fighters (FTF) yang berasal dari Indonesia.
“Karena dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU TPPT) dengan tegas menyatakan, bahwa tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya dana untuk kegiatan terorisme,” ujarnya.
Tampak hadir dalam peluncuran White paper tersebut yakni Kepala BNPT, Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, Kepala Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin, SE, M.Sc, serta dihadiri pula perwakilan dari Badan Intelijen Negara (BIN), Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri, Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementeraian Sosial (Kemensos).