Pekanbaru – Koordinasi antar aparat penegak hukum menjadi kunci dalam menangani kasus tindak pidana terorisme. Hal tersebut dikarenakan kejahatan tindak pidana terorisme merupakan ancaman nyata bagi semua bangsa di dunia karena pola mereka sangat massif sehingga dibutuhkan koordinasi dan sinergitas yang intensif antar aparat penegak hukum dalam menanggulangi masalah terorisme ini.
Untuk menggali persamaan persepsi di antara aparat penegak hukum, baik Polisi, Jaksa maupun Hakim di tingkat pusat dan wilayah dalam melaksanakan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Direktorat Penegakan Hukum menggelar Rapat Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme di Provinsi Riau. Acara tersebut digelar di Hotel Jatra Pekanbaru, Rabu (26/3/2019).
“Tujuan diadakannya pertemuan ini adalah untuk menyatukan persamaan persepsi antara penegak hukum baik dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sampai dengan instansi penegak hukum lainnya terutama dalam penerapan pasal–pasal yang ada di dalam Undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme,” ungkap Direktur Penegakan Hukum BNPT, Brigjen Pol Eddy Hartono, S.Ik., MH, dalam acara.
Di Indonesia sendiri penanganan tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan Undang – Undang No. 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang – Undang No.15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang – Undang.
“UU No. 5 Tahun 2018 yang menjadi salah satu dasar penanggulangan terorisme sudah disahkan dan secara substantif pun sudah komprehensif. Perbuatan yang tadinya tidak dapat dipidana, sekarang dapat dipidana dalam UU ini,” ungkap mantan Wakil Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri ini.
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme, BNPT tentunya tidak bekerja sendirian namun bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
“Dalam tahapan penanganan perkara tindak pidana terorisme, proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, sedangkan proses penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang tergabung di bawah Satuan Tugas Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia,” jelasnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung RI, Sugeng Pudjianto, S.H., M.H. juga mengungkapkan bahwa Kejaksaan Agung merupakan lembaga penuntutan negara dominus litis dalam sistem peradilan pidana.
“Prosesnya mencakup prapenuntutan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, upaya hukum, dan eksekutor putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Sugeng.
Namun demikian dalam menjalankan tugas, Kejaksaan menemui kendala atau hambatan yang dihadapi dalam rangka penuntutan, tidak terkecuali dalam hal penuntutan tindak pidana terorisme, yang mencakup minimnya alat bukti, kurangnya sarana prasarana, dan kurangnya SDM antar aparat penegak hukum.
“Oleh karena itu pentingnya kolaborasi dan sinergi antara aparat penegak hukum dalam menangani kasus terorisme,” ungkap Sugeng.
Seperti diketahui, Rakor ini dihadiri para Komandan Kodim, Komandan Satuan beserta jajarannya beserta jajaran dari Pangkalan TNI-AL dan jajaran Lanud TNI-AU yang ada di Riau, Rakor ini dihadiri para Kapolres, jajaran staf Polda Riau, Kepala Kejaksaan Negeri, Hakim Pengadilan Negeri dan Kepala Lapas bersama jajarannya yang ada di wilayah Riau.