Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengingatkan kepada anak muda untuk mencermati tiga isu pemicu terorisme. Ketiga isu itu adalah komunisme, syiah-sunni, dan perang akhir zaman, yang dulu menjadi pemicu eksodusnya orang Indonesia ke Afghanistan untuk melakukan peperangan dan melakukan tindakan terorisme.
“Tiga isu diatas yang dulu memicu banyak orang Indonesia, yang kebanyakan anggota NII, pergi Afghanistan. Kalau sekarang di Indonesia ada isu seperti itu, tentu harus dianalisa dan dicermati dengan baik. Jangan sampai generasi muda terjerumus tindakan terorisme karena salah memahami isu tersebut,”ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, saat membuka Workshop Bidang Penulisan, Desain Komunikasi Visual, dan IT, Dalam Rangka Pencegahan Terorisme di Dunia Maya yang diikuti Duta Damai Dunia Maya wilayah DKI Jakarta di Jakarta, Jumat (21/9/2018).
Menurut Hamli, Al Qaeda dan ISIS menggunakan isu tersebut untuk menarik simpatisan mereka untuk bergabung berperang dengan mereka di Afghanistan (Al Qaeda) dan Suriah, Irak (ISIS).Bedanya isu yang diangkat, kalau di Afghanistan isu komunisme, sementara ISIS yang pertama diangkat isu syiah-sunni. Tapi kedua isu memang terbukti manjur untuk mengelitik umat islam. ISIS dengan isu syiah-sunni karena mudah melakukan propaganda, maka hoax-hoax pun dimunculkan. Itu yang dilakukan ISIS di Suriah.
Kemudian isu lainnya adalah perang akhir zaman. Menurut Hamli, mereka berkilah bahwa siapa yang ikut berparang di Irak dan Suriah itu akan menjadi bagian perang akhir zaman dan yang mati akan ikut menjadi bagian dari Imam Mahdi.
Dari ketiga isu, terbukti banyak orang Indonesia pergi ke Timur Tengah. Sebanyak 1300-an orang pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS. Jumlah itu lebih banyak dengan rombongan Jamaah Islamiyah (JI) saat menuju Afghanistan sebanyak 279 orang, meski diklaim jumlah sebenarnya 400 lebih.
Bahkan dari orang-orang itu, banyak diantaranya memiliki pendidikan tinggi. Mereka beralasan ingin pergi dan tinggal di negara syari’ (syarikat islam). Bahkan ada seorang direktur BUMN Otorita Batam yang juga meninggalkan jabatannya untuk pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Ironisnya, ia berangkat bersama seluruh keluarganya. Namun mereka akhirnya terbukti salah jalan, dan beruntung masih dideportasi pulang.
“Apa yang mereka dapat? Gak ada. Semua janji ISIS, apakah pekerjaan wah, fasilitas kesehatan kelas atas, dan kehidupan yang layak, hanya isapan jempol belaka. Bahkan mereka mengaku tiap hari hanya menyaksikan kekejaman, pembunuhan, dan kesengsaraan dimana-mana,” tukas Hamli.
Hamli mengajak seluruh peserta workshop bersyukur atas kesempatan diberikan iman dan islam yang damai, serta diberi anugerah kesehatan, dan negeri yang darussalam, bukan negeri di Timur Tengah yang tidak pernah berhenti dari konflik dan perang.
“Saya di BNPT baru satu tahun untuk menggeluti bidang penanggulangan terorisme di sektor hulu. Jadi penanggulangan terorisme ini, penanganannya mulai dari hulu sampai hilir. BNPT menangani terorisme mulai penyebaran sampai proses hukum. Namun untuk penegakan hukum dilakukan langsung oleh teman Densus 88,” jelasnya.
Kegiatan workshop duta damai ini, terang Hamli, adalah bagian dari tugas BNPT. Ada teori yang mengatakan bahwa terorisme itu tidak muncul tiba-tiba. Awalnya intoleran, naik menjadi radikal, dan naik lagi menjadi terorisme.
“Hari ini adik-adik dikumpulkan di sini, untuk melakukan upaya supaya orang tidak intoleran dan radikal. Radikal negatif, bukan radikal positif. Ketika menjadi radikalisme dia menjadi negatif. Definisi yang digunakan supaya gampang, orang-orang yang menginginkan perubahan secara keras, misalnya perubahan sistem tata negara. Itu yang dianggap kepala BNPT, rardikalisme yaitu ingin mengubah Pancasila, anti-Pancasla, ingin mengubah NKRI dengan bentuk lain, anti pluralisme,” pungkas ahli kimia jebolan ITS ini.