Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jatim bersama tokoh seni dan budaya melakukan koordinasi terkait pencegahan penyebaran kelompok maupun paham radikalisme dan terorisme di Jawa Timur, Rabu (30/3).
Bertempat di Hotel Bisanta Bidakara Jl Tegalsari, Surabaya, dialog yang bertemakan ‘Pencegahan Terorisme Bidang Sosial Budaya (Sosbud)’ ini dihadiri sekitar 250 orang. Diantaranya yakni Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof dr Irfan Idris dan tokoh seniman Jatim seperti Lutfi Galajapo, Bambang Gentolet Srimulat serta Taufik Monyong.
Pada sambutannya, Prof dr Irfan Idris mengatakan, terdapat lima strategi penanganan aksi terorisme maupun penyebaran paham radikalisme. Kelimannya, lanjut Idris, yakni Sender (penyebar paham), Resiver (penerima), Ideologi, Media atau sarana, dan Konteks Sosial Budaya. Kelimanya ini sering disebut dengan istilah Grand Strategy.
Dijelaskan Idris, kelimanya sangat penting dalam upaya memahami strategi penanganan aksi terorisme dan penyebaran paham radikalisme. Namun saat ini Idris menekankan pada factor kelima, yakni strategi melalui konteks social dan budaya. Sebab, kearifan local yakni budaya perlu dikaji dan diolah kembali sebagai bentuk kegiatan bagi masyarakat.
“Harapan besar kita bersama yakni terhadap seniman ataupun budayawan, terutama di Jawa Timur yang banyak sekali tersimpan kearifan local. Strategi penanganan aksi terorisme dan paham radikalisme lebih bagus disampaikan lewat seni dan budaya, karena seni lewat rasa dan tidak mengenal lintas budaya, keyakinan maupun suku bangsa,” tegas Direktur Deradikalisasi BNPT Prof dr Irfan Idris, Rabu (30/3).
Idris menegaskan, pada Grand Strategy prinsipnya tidak ada kata salah untuk melakukan pencegahan terhadap terorisme dan paham radikalisme. Terlebih pada poin ke empat dan ke lima, melalui media sebagai saranan dan konteks social budaya. “Kearifan local perlu dikemas sebaik mungkin, terlebih untuk kegiatan di masyarakat yang mencerminkan rasa cinta damai,” ungkapnya.
Sedangkan untuk peranan media, Idris menekankan agar setiap media menyiarkan headline berita terkait kearifan local yang ada di Indonesia. Ditambahkannya, sebelum kemajuan media seperti saat ini, perekrutan radikalisme berjalan melalui persaudaraan dan pertemanan. Pada era global ini, Idris mengaku media social (medsos) sangat rentan akan perekrutan paham radikalisme.
“Peran media saat ini sangat berdampak besar pada segala macam aspek, terutama bagi paham radikalisme. Sebab, pada saat kami melakukan koordinasi dengan pakar komunikasi, ada pernyataan bahwa Indonesia masuk rangking kelima didunia dalam hal perekrutan terorisme,” pungkasnya.
Sementara itu, Taufik Monyong selaku seniman Surabaya menambahkan, saat ini paham-paham radikalisme banyak terjadi di masyarakat. Mereka berusaha memecah belahkan bangsa Indonesia. Hal itu muncul karena masyarakat sekarang mengesampingkan aspek perilaku social berkesenian. Mereka menganggap kesenian bukanlah hal yang sangat penting.
Maka dari itu, Taufik mengaku bahwa masyarakat Indonesia apalagi Jatim dijauhkan dari akar kebudayaannya. Tak hanya itu, masyarakat juga dijauhkan dari keseniannya dan dari budaya nenek moyangnya. Dari sinilah timbul sebuah konfrontasi.
“Sebenarnya kesenian dan kebudayaan harus menjadi medan untuk sebuah treatmen atau kesembuhan bagi orang-orang yang mungkin mengalami shock dengan kemajuan jaman. Upaya kami (seniman, red) untuk mencegah radikalisme sangatlah sederhana, yakni ada negara di dalam berkesenian itu sudah selesai. Artinya, negara harus mendampingi di tengah-tengah kesenian untuk memberikan sosialisasi bagaimana orang di treatmen secara intelektual dan psikologi untuk mereka tidak melakukan sebuah tindakan anarkis,” papar Taufik.