Purwokerto — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menggelar kegiatan Bincang Jurnal dengan tema “Algoritma Terorisme: Jejak Radikalisasi di Media Baru”, di Ruang 201 FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Rabu (29/10). Kegiatan ini diikuti oleh 50 peserta yang terdiri atas mahasiswa S1–S2, dosen, dan civitas akademika FISIP Unsoed.
Acara dibuka oleh Prof. Dr. Slamet Rosyadi, S.Sos., M.Si., mewakili Unsoed, yang menekankan pentingnya memahami dinamika penyebaran paham radikalisme melalui media baru.
“Tema ini sangat relevan karena teknologi informasi kini menjadi sarana signifikan dalam penyebaran paham terorisme. Media baru ibarat pedang bermata dua—dapat berdampak positif sekaligus negatif,” ujarnya.
Prof. Slamet berharap diskusi ini mampu menghasilkan gagasan dan produk akademik yang berkontribusi terhadap upaya pencegahan terorisme berbasis literasi media.
Sementara itu, Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., dalam sambutannya menyampaikan bahwa algoritma media sosial berpotensi menciptakan echo chamber dan filter bubble yang mempersempit pandangan pengguna hingga mudah terpapar paham ekstrem.
“Kampus memiliki tiga peran strategis: pusat riset dan analisis data untuk membedah pola radikalisme digital, pengembang kontra-narasi yang efektif, dan benteng literasi digital kebangsaan,” tutur Prof. Irfan.
Ia menambahkan, teknologi di tangan yang salah bisa menjadi perusak, sedangkan di tangan intelektual dapat menjadi alat menuju perdamaian. “Mari kita pastikan algoritma tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan kita, bukan sebaliknya.”
Dalam sesi Bincang Jurnal, Dr. M. Suaib Tahir, Lc., M.A., Staf Ahli BNPT, memaparkan bahwa radikalisme merupakan fenomena global dengan strategi penyebaran yang terus berkembang.
“Jika dulu penyebaran paham ekstrem dilakukan lewat buku atau tatap muka, kini banyak dilakukan melalui media digital, bahkan lewat live streaming dan game online,” jelasnya.
Ia menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap potensi radikalisasi di ruang bermain daring, karena dapat menyasar anak-anak dan remaja.
Pandangan senada disampaikan oleh Nuriyeni Kartika Bintarsari, S.I.P., M.A., Ph.D., Lektor Kepala FISIP Unsoed. Ia menegaskan bahwa Indonesia kini menghadapi tantangan baru berupa radikalisasi di ruang siber yang memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI).
“ISIS dahulu menyewa profesional untuk membuat video propaganda, tapi kini dengan AI siapa pun bisa melakukannya dengan mudah,” ujarnya.
Nuriyeni menambahkan, beberapa game daring bahkan menampilkan narasi kekerasan ekstrem dan memanfaatkan fitur chat untuk komunikasi perekrutan. Ia mengusulkan agar BNPT memperluas program Sekolah Damai hingga ke tingkat SMP serta menggandeng influencer game seperti Windah Basudara dan Jess No Limit sebagai duta narasi damai.
Diskusi yang berlangsung interaktif ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya pentingnya riset berkelanjutan tentang pola radikalisasi digital, peningkatan literasi digital kritis, serta penguatan kolaborasi antara kampus, BNPT, dan komunitas digital untuk memperluas penyebaran narasi perdamaian.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!