Jakarta – Penyebaran paham radikalisme lewat media sosial menjadi tren baru yang mesti diwaspadai semua elemen bangsa. Tren ini tak boleh dianggap remeh lantaran dapat menjerat siapa saja dari berbagai kelompok sosial maupun intelektual tanpa kecuali. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang terjerat merasakan dirinya baik-baik saja, laiknya penderita COVID-19 dengan kategori Orang Tanpa Gejala (OTG).
Dalam rangka menggencarkan kontra terhadap narasi intoleransi, radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) mengajak seluruh elemen bangsa untuk terlibat aktif, terutama dalam mengkampanye narasi moderat di ruang online.
“Semua masyarakat komponen Bangsa, Kementerian Lembaga, harus bersiaga dan bersiap menghadapi dan menyiapkan kontra narasi, menyiapkan diksi-diksi yang moderat, narasi yang tidak provokatif, narasi yang berdasarkan kearifan lokal dengan mencerahkan terutama generasi muda,” kata Direktur Pencegahan BNPT RI, Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., Rabu (14/6/2023).
Dia mengatakan, propaganda kelompok radikal ekstrem yang terjadi di media sosial ini menjadi ajang meraih simpati. Pemanfaatan media sosial juga telah menciptakan kemunculan jenis simpatisan anyar untuk kelompok teroris yang mulai memperluas jangkauannya.
“Coba kita saksikan serangan Bom Bali itu belum melibatkan anak-anak dan perempuan, baru dari pintu ke pintu, itu artinya offline. Setelah ada media sosial, tidak perlu saling kenal, muncullah istilah lonewolf,” katanya.
Ruang media sosial juga menjadi katalis bagi penyebaran gagasan organisasi-organisasi terafiliasi kelompok teroris global yang sudah dilarang. Organisasi yang ruang geraknya telah dikerangkeng secara fisik tersebut, masih bisa menyebarkan gagasan mereka via media digital.
“Oleh karena itu kita harus waspada agar generasi muda tidak dapat dengan mudah ikut berselancar di dunia maya tanpa mengetahui asal-usul organisasi itu.”
Fenomena radikalisme online ini menjadi salah satu perhatian Presiden Ir. H. Joko Widodo baru-baru ini. Saat memberikan sambutan dalam Gerakan Literasi Digital di Markas Besar TNI, Jakarta, Selasa (13/6), beliau menyampaikan radikalisme berbasis digital serta sejumlah fenomena lain seperti hoaks, penipuan daring, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, perjudian, dan juga ujaran kebencian, perlu terus diwaspadai karena mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Direktur Pencegahan mengatakan program pencegahan yang memang menjadi tugas dan fungsi utama dari BNPT perlu terus diperkuat. Upaya ini bukan saja menjadi tanggungjawab BNPT, namun jugaseluruh komponen Bangsa yang didorong aktif melakukan kolaborasi termasuk via strategi pentahelix.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo ini menjadi alarm bagi kita semuanya untuk terus waspada. Jangan mudah berselancar di dunia maya tapi kita tidak punya standing point, tidak punya jati diri. Akhirnya apa yang disampaikan oleh media sosial [membuat] kita terpapar, kita ikut, kita coba-coba. Akhirnya kita tanpa disadari menjadi orang terpapar atau OTG orang tanpa gejala,” kata dia.