Damailahindonesiaku.com, Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus menggalakkan program-program pencegahan paham radikalisme dan program deradikalisasi buat mantan-mantan pelaku terorisme. Untuk itulah, BNPT mengajak peran kampus untuk mendukung amandemen Undang-undang No 15 Tahun 2003 tentang terorisme.
“Undang-undang itu sudah sangat lemah karena hanya mengakomodasi tuntutan akibat Bom Bali saja. Sekarang perlu diperkuat proses rehabilitasi. Tidak hanya di Lapas, tapi juga di luar Lapas,” ujar Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Dr Irfan Idris MA di sela-sela Seminar Nasional “Radikalisme Agama Dalam Persepktif Global dan Nasional” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kamis (11/6/2015).
Menurutnya, tidak sedikit mantan narapidana terorisme yang sudah kembali ke masyarakat yang kecewa dengan perlakuan negara. “ Mereka seperti mati segan, hidup tak mau karena kesulitan untuk melanjutkan hidup. Baik itu normalisasi di mata masyarakat, maupun secara ekonomi (pekerjaan). Di sini negara harus hadir agar mereka tidak kembali menjadi teroris. Intinya negara harus adil memperlakukan mereka sebagai tindak lanjut proses deradikalisasi yang dilakukan BNPT selama ini,” tegas Irfan.
Amandemen UU No 15 2015 ini penting karena akan menjadi landasan bagi BNPT dalam menanggulangangi paham radikalisme, terutama dari mantan pelaku terorisme agar tidak kembali lagi. Dan kalangan kampus dinilai sangat tepat untuk memberikan masukan kepada pemerintah terkait amandemen tersebut.
“Kami berharap UIN bisa menjadi perintis pembuat jurnal deradikalisasi. Tentu ini tidak hanya berhenti di UIN saja, ke depan kami akan melebarkan ke perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Intinya, BNPT siap menggandeng berbagai unsur mahasiswa dan masyarakat dalam memerangi paham radikalisme dan menjalankan proses deradikalisasi,” kata
Selain itu, lanjut Irfan, BNPT juga akan merangkul Universitas Islam Negeri (UIN) seluruh Indonesia untuk membuat jurnal deradikalisasi. Itu dilakukan untuk meredam penyebaran paham radikalisme di kalangan mahasiswa.
“Nantinya setiap dosen akan mendapatkan poin dan akan memberikan laporan tentang pelajaran yang diberikan dengan mengisi kuisioner dalam jurnal deradikalisasi tersebut. Dosen itu khan latar belakangnya berbeda-beda, sehingga mereka juga bisa menulis yang sifatnya kontra narasi,” terang Irfan.
Ia berharap dengan adanya jurnal deradikalisasi ini, kampus bisa pro aktif dalam mendeteksi penyebaran paham radikalisme, terutama ISIS. Pasalnya, ISIS di Indonesia dideklarasikan di dalam kampus.
“Mahasiswa sangat haus akan informasi. Mereka juga suka dengan bacaan-bacaan provokatif dan mengikuti berbagai kajian. Kami berharap kerjasama ini bisa menjadi solusi untuk meredam gejolak radikalisme di kampus,” tegas Irfan.