Yogyakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengajak guru dan mubaligh Muhammadiyah untuk mewaspadai penyebaran radikalisme dan terorisme yang menggunakan kendaraan agama. Itu penting karena Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki jaringan luas, baik di jalur pendidikan maupun dakwah.
“Mulai dari PAUD sampai universitas, radikalisme itu terus menyebarkan pahamnya. Makanya guru dan mubaligh Muhammadiyah harus selalu waspada, karena faktanya sudah banyak yang terpapar paham itu di lembaga-lembaga pendidikan maupun dakwah,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, pada acara Sarasehan Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kalangan Guru dan Mubaligh Muhammadiyah kerjasama BNPT dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta, Kamis (20/2/2020).
Sarasehan itu dihadiri sekitar 200 guru dan mubaligh Muhammadiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kegiatan itu dibuka oleh Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Agung Danarto, M.Ag, serta menghadirkan narasumber Dr. Hamim Ilyas (Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), H. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc, Sag, MAg (Dosen UIN Sunan Kalijaga), Dra. Sri Roviana, MA (PP Aisyiyah), Dr. Muhammad Azhar, MA (anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah), Dr. Syamsiatun (dosen UIN Sunan Kalijaga), Prof. Abdul Munir Mulkan (mantan Sekretaris PP Muhammadiyah/anggota majelis Dikti PP Muhammadiyah), Dr. Khairun Khamsin (anggota majelis Tarjih PP Muhammadiyah), dan Mega Hidayati (anggota pimpinan ranting Asyiyah/dosen UMY Jurusan Politik Islam)
Hamli sangat mengapresiasi paparan Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Agung Danarto, M.Ag tentang potensi radikalisme terhadap Muhammadiyah. Menurutnya, apa yang dipaparkan itu sangat jelas dan gamblang tentang posisi Muhammadiyah, sekaligus menjawab banyak pertanyaan tentang hubungan Muhammadiyah dengan kelompok salafi dan wahabi.
Sebelumnya saat membuka sarasehan ini, Agung Danarto mengungkapkan, Muhammadiyah tetap memegang teguh komitmen bahwa Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah yang artinya negara tempat melakukan konsensus nasional. Komitmen itu pula yang menjadi senjata Muhammadiyah dalam melawan berbagai upaya yang ingin merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak hanya itu, sejak awal Muhammadiyah ikut melahirkan Indonesia dan itu tentu menjadi konsensus seluruh anak bangsa. Bahkan hingga sekarang Muhammadiyah tidak pernah kepikiran untuk mencari alternatif atau sistem negara lain, kecuali NKRI dan Pancasila.
Namun Agung mengakui, dari sisi genealogi, ada irisan bahwa Muhammadiyah hampir sama dengan kelompok radikal dan ekstremisme, yang sama-sama terinspirasi gerakan Wahabi. Bedanya Wahabi seperti di Timur Tengah melakukan dengan kekerasan, sementara Muhammadiyah meredam sehingga tidak ada sifat destruktif.
“Selama ini tidak pernah diungkapkan hal-hal yang dijelaskan tadi yang faktanya memang seperti itu,” jelas Hamli.
Untuk itulah, Hamli mengajak para guru dan mubaligh, khususnya dari Muhammadiyah, untuk melakukan hal-hal positif demi melawan penyebaran radikalisme. Pertama memperkuat wawasan keagamaan. Ia sangat setuju dengan apa yang disampaikan Wasekum Muhammadiyah itu disebarkan ke seluruh anggota di seluruh Indonesia.
Kedua memperkuat wawasan kebangsaa. Ia mengakui untuk memperkuat wawasan kebangsaan ini gampang saat ngomongnya tapi dilakukan sulit. Contohnya, pelaksanaan upacara bendera setiap hari Senin.
“Semua sekolah Muhammadiyah harus melaksanakan upacara bendera tiap Senin. Ini bisa jadi indikator untuk melihat seseorang terpapar radikalisme, khususnya saat hormat bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,” jelas Hamli.
Selain itu, wawasan sosial politik juga harus diperkuat. Kemudian harus dilakukan pengentasan kemiskinan. Dalam hal ini, Hamli menilai Muhammadiyah sudah sangat siap dengan keberadaan Lazis MU dan lembaga-lembaga Muhammadiyah lainnya.
Juga harus dilakukan sikap adik dan seimbang. Dan terakhir, ia mengajak seluruh peserta untuk bijak saat bersosialisasi di media sosial (medsos). Menurutnya, orang pasti tidak mau jadi teroris, juga tidak suka dengan teroris. Tapi kalau dibangun dengan narasi seperti umat Islam diiperlakukan tidak adil, kemudian takfiri sehinga harus bermusuhan karena mereka mendzolimi.
Itulah yang dibangun di medsos. Makanya kita harus bijak di medsos, lakukan saring sebelum sharing. Intinya kita harus bisa membentengi diri kita sendiri, keluarga, dan lingkungan, dari penyebaran radikalisme tersebut,” pungkas Hamli.