Jakarta – Blueprint perlindungan yang tengah dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dinilai sudah cukup bagus oleh para pakar dan ahli yang hadir dalam Uji Publik Naskah Blueprint Perlindungan BNPT di Hotel Santika, TMII, Jakarta, Jumat (25/9/2015). Kendati demikian, masih ada beberapa hal yang harus ditambahkan dan disempurnakan agar blueprint perlindungan benar-benar menjadi landasan dalam menjalin sinergi pencegahan terorisme antar lembaga pemerintah.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) DR Kemal Dermawan menilai dari blueprint seharusnya dibuat untuk mengantisipasi aksi teroris secara global. Tapi dari yang sudah ia baca, beberapa hal yang dibahas masih terbatas menghadapi kejahatan. Padahal, terorisme itu tidak sama dengan kejahatan biasa.
“Kalau aksi kejahatan biasa pelakunya masih rasional dan menimbang kemugnkinan gagal. Tapi untuk aksi terorisme sangat tidak rasional. Seperti suicide bombing (bom bunuh diri), dia tidak berpikir rasional, yang penting misinya tercapai. Ini harus lebih ditegaskan lagi di dalam blueprint ini,” kata Kemal.
Ia mencontohkan salah satu bidang yang cukup sulit mengantisipasi dalah sektor pariwisata. Menurutnya, pariwisata beda dengan bidang-bidang lain. Pasalnya di sektor pariwisata ini siapapun bisa datang. Itu menjadi kesulitan yang harus dipahami sehingga harus ada tindakan untuk menyaring, meminimalisir, bila ada pengunjung yang membawa sesuatu yang mencurigkan.
Sementara itu, pengamat kriminologi Prof Bambang Widodo Umar yang memaparkan sektor infrastruktur dan sarana publik menilai, studi banding yang telah dilakukan di negara maju justru menjadi dilema karena di negara maju semuanya telah mapan.
“Tapi memang ada beberapa hal yang bisa dicontoh. Seperti perlindungan, tentunya yang dilindungi negara dan warganya, dalam konteks yang terkena teror, atau mungkin malah teroris. Di blueprint ini belum mengarah pada siapa yang dilindungi. Semua warga negara, bahkan teroris juga saudara-saudara kita,” tuturnya.
Yang kedua, lanjut Prof Bambang Widodo, ia melihat kebijakan yang dirumuskan negara dalam konteks penanggulangan terorisme ini masih belum jelas begitu juga dengan pendekatan yang akan dikembangkan. Sebab kalau kebijakannya tidak jelas, ia khawatir apa yang sudah berjalan sejak tahun 2001 dulu kembali terjadi yaitu main pukul, hanya pendekatan hukum.
“Kalau dulu masih satu bidang, tetapi sekarang banyak bidang. Oleh karena itu pemikirannya adalah perlindungan juga berbagai bidang. Kalau nanti BNPT sudah mampu merumuskan sistem perlindungan, sedangkan sistem perlindungan ini di departemen negara sudah ada. Manajemen security juga sudah punya, karena itu BNPT perlu studi juga ke departemen-departemen itu sehingga nantinya singkron, karena yang lebih tahu departemen dalam melindungi aset,” papar Prof Bambang Widodo.
Dari materi perlindungan VVIP yang disampaikan Prabowo Setiaji S.Ip (Paspampres), dipaparkan teknik dan strategi perlindungan VVIP. Menurutnya, perlindungan VVIP di setiap negara, berbeda-beda. Di Indonesia, sesuai UU No 10 tahun 2010, yang dinyatakan VVIP itu adalah Presiden, Wakil Presiden, dan kepala negara yang sedang berkunjung ke Indonesia. Kemudian dengan dikeluarkan Keppres No 59 Tahun 2013, ditambahkan bahwa VVIP salah salah satunya adalah mantan Presiden dan Wapres.
“Kenapa VVIP harus dilindung? Apabila keselamatan VVIP tidak terjamin, dampaknya sangat luars dan berpengaruh pada politi dan ekonomi dan mengganggu kredibilitas negara,” ungkapnya.
Namun Prabowo mengungkapkan sejauh ini, serangan fisik terhadapi VVIP di Indonesia bisa dicegah. Tapi dengan adanya media sosial, ia menilai cukup sulit melakukan pencegahan, karena semua isu dan berita bisa tersebar di media sosial dengan cepat tanpa bisa dikendalikan.
Pemapar terakhir Ir Marta Leni Siregar MSi, MSc dari Laboratorium Transportasi UI menilai, dari blueprint perlindungan yang tengah disusun ini, ia menyarankan agar di transportasi darat ditambahkan perlindungan di terminal bus karena disana baru disebutkan bandar udara dan stasiun kereta api. Menurutnya, terminal adalah tempat yang sangat mudah dimasuki teroris karena dibandingkan kereta api dan bandara, terminal sangat terbuka.
“Kalau bandara dan stasiun saya rasa sudah cukup ketat, tapi terminal ini sangat terbuka sehingga harus diberikan penekanan,” pungkasnya.