Jakarta –Bibit radikalisme dan terorisme masih tumbuh subur di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mereduksi radikalisme dan terorisme, tapi itu belum mampu mengikis bibit paham kekerasan yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa itu.
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengungkapkan, bahwa keberadaan bibit-bibit radikalisme dan terorisme di masyarakat karena ada yang memelihara. Ia membenarkan bahwa radikalisme di Indonesia masih pelihara oleh elit politik untuk mewujudkan ambisinya meraih kekuasaan.
“Radikalisme tumbuh subur di Indonesia karena ada yang pelihara,” ujar Ken dikutip dari statusnya di Facebook, Senin (26/7/2021).
Ia menjelaskan, radikalisme di Indonesia mulai tumbuh subur di era pemerintahan sebelumnya. Ia menyebut, pemerintahan SBY/JK, kelompok-kelompok radikal dibiarkan tumbuh karena memiliki masa besar. Mereka dimanfaatkan untuk mendulang suara.
“Memang beberapa kelompok radikal besar sudah ada dibubarkan, tapi faktanya mereka sudah menyusupkan kadernya ke semua lini masyarakat, termasuk ke ranah pemerintahan seperti ASD dan TNI/Polri,” ungkap Ken.
Ia mengibaratkan kondisi saat ini seperti kejadian kebakaran. “Pemadam kebakaran susah memadamkan karena yang kebakar itu adalah hutan gambut, sehingga tidak terkendali,” tuturnya.
Ken menilai, dalam sistem demokrasi di Indonesia, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian keagamaan di masyarakat.
Selain itu, lanjut Ken, para pelaku propaganda radikalisme itu juga berperan penting untuk memberi semangat pengikutnya melakukan aksi teror. Ironisnya, apapun jenis dan bentuknya, namun yang bisa ditindak oleh aparat adalah orang atau kelompok yang sudah melakukan tindakan terorisme, sementara paham radikal saja belum bisa ditindak dengan terorisme.
“Disinilah problem utama kita di Indonesia,” tukasnya.
Menurutnya, Densus 88 paling hebat didunia dalam menindak pelaku terorisme, tapi Densus belum bisa menindak di tingkat paham radikalnya sebelum melakukan aksi.
Ia menilai, kelemahan UU no 5 tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme belum bisa menindak pahamnya, tapi tindakan atau aksi terorisme yang bisa ditindak.
“Jadi orang atau kelompok yang hanya mengkampanyekan negara Islam atau khilafah belum bisa ditindak dengan pasal terorisme, kecuali mereka yang sudah bergabung dalam kelompok dengan berbaiat dan melakukan latihan untuk persiapan terorisme, itu bisa ditindak dengan ‘preventif strike’ atau pencegahan keras, jadi sebelum melakukan aksi mereka sudah bisa ditangkap aparat,” papar Ken.
Ia menambahkan, intoleransi dan radikalisme seperti takfiri dan anti budaya akan terus merajalela karena memang payung hukum di Indonesia belum mencakupnya. Paling bila mengarah kepada ujaran kebencian dan transaksi elektronik hanya bisa ditindak dengan UU ITE.
Sejauh ini, ungkapnya, sosialisasi pencegahan tertang radikalisme dan terorisme oleh kementrian dan lembaga, termasuk BNPT sudah sering digaungkan. Namun Ken menilai itu masih kurang.
“ibarat menyalakan api, kita itu lilin, sementara kelompok radikal itu obor, jadi kita masih kalah masif,” jelas Ken.
Ia mengatakan, kumlah kelompok radikal tidak banyak, namun mereka 24 jam bergerak. Sementara masyarakat yang moderat cenderung diam tidak merasa terancam dan membiarkannya sehingga ini akan terus menyebar dan semakin merajalela.