Jakarta – Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, kondisi Indonesia pada 10-15 terakhir terkait Bhinneka Tunggal Ika itu, tidak lagi kokoh karena masyarakat tidak merawatnya dengan baik. Keberagaman yang ada mendapat tantangan serius dari kekuatan politik penyeragaman. Akhirnya ada gerakan intoleran yang menyasar seluruh lini kehidupan.
Dijelaskan, berdasarkan analisa Setara Insititute, pada 2016 sudah terjadi gerakan intolerasi sebanyak 38,4 persen di kalangan generasi now. Pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat yang ada harus bergerak dan merespon femonena ini.
“Isu-isu intoleransi saat ini bisa dipastikan merupakan medium transformasi intoleransi menjadi gerakan radikal. Belakangan ini terlihat kelompok-kelompok radikal yang memanfaatkan aksi-aksi intoleran untuk menunjukkan eksistensi mereka,” kata Hendardi dalam siaran persnya yang diterima ‘Damailahindonesiaku’, Senin (20/11/2017).
Menurutnya, terorisme merupakan puncak dari gerakan radikal sehingga dalam memberantas aksi terorisme harus menangkal gerakan radikalisme. Menangani intoleransi bukan hanya akan membendung arus politik penyeragaman dan identitas, tetapi juga menangkal gerakan radikalisme.
Dia pun berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla harus menjadi garda terdepan dalam menangkal gerakan intoleransi di Indonesia. Pemerintahan ini harus mengambil langkah kongkrit untuk menindak setiap tindakan intoleran dengan menegakkan supermasi hukum dan konstitusi.
Sebelumnya, Setara Institute mengeluarkan hasil penelitian Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2017 pada 94 dari 98 kota di Indonesia. Beberapa kota seperti Manado, Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang menjadi 10 kota yang memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi. Kota lainnya itu adalah Tual, Binjai, Kotamobagu, Palu, Tebing Tinggi, dan Surakarta.
Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober 2016 hingga September 2017 dan bertujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan serta mengembangkan toleransi. “Jadi kalau kota yang toleransinya masih rendah, harus bergegas mengikuti untuk membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya,” kata Halili, peneliti dari Setara Intitute.
Laporan IKT itu disusun untuk mengutamakan praktik toleransi dengan memeriksa seberapa besar kebebasan beragama dan dilindungi melalui regulasi dan tindakan. Tak hanya itu, laporan ini menyandingkan pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat dalam tata kelola keberagaman kota.
Juga disebutkan bahwa DKI Jakarta menjadi kota di Indonesia yang mendapatkan peringkat pertama dengan kategori toleransi rendah pada 2017. Padahal dalam penelitian 2015, Jakarta menduduki peringkat 65 dari 94 kota yang dilakukan kajian terkait indeks kota toleran. Hal itu disebutkan penguatan intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat, dan setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017.