Jakarta – Maraknya paham radikalisme yang mulai masuk ke dunia perguruan tinggi (kampus) tidak bisa dipandang remeh. Sebab, kampus sekarang ini bisa dikatakan sebagai salah satu sasaran radikalisme dan terorisme. Paham radikal dinilai tidak boleh masuk dan beredar bebas di lingkungan universitas. Kampus pun kini terus berbenah untuk membersihkan bibit-bibit paham radikal.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr. Dede Rosyada, MA, mengatakan bahwa kampus merupakan tempat kaum intelektual dan calon intelektual. Untuk itu kampus harus dapat mencegah masuknya paham radikalisme dan terorisme. Menurutnya ada beberapa cara agar lingkungan kampus terbebas dari paham radikalisme
“Untuk mencegah radikalisme di lingkungan kampus, pertama tentumya yakni pekuliahan. Dimana dalam perkuliahan ini yaitu perkuliahan yang sesuai kalendek akademik atau program studi yang telah ditentukan sesuai yang apa menjadi pilihan mahasiswa itu sendiri dan juga pendidikan yang di luar program studi seperti kegiatan kemahasiswaan,” ujar Prof De. Dede Rosyanda di Jakarta, Kamis (19/10/2017)
Selain perkuliahan itu sendiri yang kedua dalam mencegah radikalisme di lingkungan kampus yakni dengan memperkuat mata kuliah tertentu seperti penguatan tafsir, penguatan ideologi negara itu sendiri dan mata kuliah tertentu lainnya. “Nanti di mata kuliah itu kita antisipasi dalam pokok-pokok bahasannya. Selain itu, mahasiswa yang berkuliah di kampus tersebut tidak hanya diberikan teori, namun juga dibekali dengan praktek di lapangan,” ujarnya.
Hal yang ketiga dalam mencegah masuknya paham radikal di kampus menurutnya yaitu dari tenaga pendidik atau dosennya itu sendiri. Kalau dosen yang masuk itu berlatar belakang pendidikan atau berpandangan ektrem atau berideologi radikal tentunya harus ditolak.
“Rekruitmen dosen di fakultas agama maupun umum, dan tenaga kependidikan lainnya, benar-benar diseleksi dengan ketat terkait paham dan komitmennya terhadap nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Disinilah peran kampus dalam melakukan seleksi terhadap dosen sangat besar agar kampus itu terbebas dari benih-benih radikal.,,” ujarnya
Dikatakan pria yang juga Dewan Pembina Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) ini, setiap tenaga pengajar di perguruan tinggi, juga harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, baik itu dalam aktivitas belajar mengajar ataupun dalam setiap ketiatan kemahasiswaan.
“Komitmen ini penting untuk dilakukan, mengingat penyusupan paham radikalisme, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Kelompok radikal yang telah menyusup di dalam kampus, umumnya menyasar mahasiswa yang baru masuk,” ujar pria yang mengambil gelar Doktor dari McGill University, Kanada ini.
Selain itu katanya, hal lain yang bisa dilakukan adalah menjadikan moderasi Islam sebagai gerakan segenap civitas akademika di lingkungan kampus. “Kami di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) mempunyai modal cukup untuk ini. Sebab diskursus pemikiran keislaman berkembang baik sehingga tinggal didorong agar moderasi bisa menjadi gerakan bersama,” ujarnya.
Selanjutnya adalah memperkuat wawasan kebangsaan mahasiswa dan civitas akademika kampus. Selain sessi-sessi perkuliahan, upaya ini bisa dikemas dalam ragam aktivitas positif yang dapat mencegah secara dini berkembangnya paham ekstrem yang tidak sesuai dengan nilai moderasi Islam serta Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Dan ini harus diikuti dengan penguatan semangat kebangsaan dan moderasi Islam, bukan justru sebaliknya,” ujarnya.
Lalu yang berikutnya menurutnya pihak kampus juga harus ikut serta mengawasi segalam macam bentuk kegiatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di dalam kampus itu sendiri. Jangan sampai UKM yang ada di lingkungan kampus tersusupi paham radikal seperti yang pernah terjadi di Institut Pertanian Bogor (IPB) dimana ormas yang mengatasnamakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mencoba masuk melalui UKM.
“Jangan sampai seperti itu terulang kembali di lingkungan kampus. Distu pihak kampus harus tahu kalau ada kegiatan seperti itu dan melarangnya. Dan mahasiswanya harus diberikan pemahaman pendidikan tentang ideologi bangsa ini. Di kampus kami (UIN Jakarta) kegiatan mahasiswa tentunya juga kita awasi agar paham radikal tidak masuk melalui UKM,” ujarnya
Ia mengatakan bahwa komitmen pihaknya dalam hal ini UIN Jakarta dalam memerangi radikalisme dan terorisme sangatlah kuat Bahkan, UIN Jakarta juga sudah meneken Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di tahun 2015 silam untuk mengurus kerjasama terkait penelitian, advokasi, dan pelatihan tentang terorisme dan radikalisme.
“Indonesia tidak bisa menanggulangi berkembangnya radikalisme agama dan terorisme tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya,” ujar pria kelahiran Ciamis, 5 Oktober 1957 ini.
Namun dirinya tidak dapat memberikan gambaran secara pasti ketika ditanya mengenai sudah seberapa besar pengaruh paham radikalisme yang sudah menyebar ke dalam lingkungan kampus. “Mengenai sudah seberapa besar tentunya saya tidak bisa memastikan, meskipun saya akui itu terjadi di beberapa kampus. Namun untuk di kampus kami saya yakin hal itu sudah tidak terjadi lagi,” katanya mengakhiri.