Jakarta – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, memberikan vaksinasi ideologi kepada para peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Duta Damai Dunia Maya 2022 di Jakarta, Rabu (28/12/2022). Vaksinasi ideologi sangat penting untuk membekali duta damai dunia maya tentang cara-cara kelompok radikal terorisme dalam melancarkan propaganda menggunakan agama.
“Kalau kalian ditanya, pilih mana ideologi Pancasila, ideologi Islam? Kalau pilih ideologi Islam kalian telah mendistorsi islam sebagai ideologi padahal islam adalah agama yang bersumber pada wahyu illahi untuk rahmatan lil alamin. Ketika didowngrade dan didistorsi menjadi ideologi, itu ijtihad manusia sehingga Islam tidak rahmatan lil alamin lagi, tapi rahmatan lil kelompok, lil partai. Itu namanya distorsi,” papar Nurwakhid.
Menurutnya, cara-cara seperti itu digunakan kelompok teroris untuk mempengaruhi masyarakat sebelum melakukan perekrutan.
Ia menegaskan, Pancasila dan Islam itu tidak bisa dibandingkan. Pasalnya Pancasila itu dasar negara Indonesia, bukan agama dan tidak menggantikan agama.
“Tapi Pancasila adalah substansi perintah Tuhan dalam agama karena Pancasila tidak bertentangan dengan kitab suci agama apapun,” imbuh Nurwakhid.
Ia mengungkapkan sering mendapat pertanyaan dari orang asing yang heran kenapa Indonesia dengan segala kemajemukan tidak terjadi konflik.
“Saya jawab negara kami Insya Allah sampai kiamat tidak bisa dipecah belah, karena negaranya kami sepotong surga yang dijaga kekasih Tuhan yaitu waliyullah. Para waliyullah itulah bersama para tokoh agama lain dan tokoh bangsa yang dipimpin Bung Karno merumuskan dasar negara, ideologi bangsa Pancasila yang digali dari nilai luhur bangsa, sehingga Pancasila mampu menyatukan bangsa,” urainya.
Selain Pancasila, ungkap Nurwakhid, bangsa Indonesia memiliki budaya dan kearifan lokal seperti silaturahmi dan gotong royong, yang tidak dimiliki negara-negara luar. Seperti di Manado atau Sulawesi Utara, budaya dan kearifan lokalnya sangat luar bisa. Itu dibuktikan dengan kehidupan masyarakat yang harmoni dalam keberagaman dengan dilandasi rasa toleransi tinggi antar umat beragama.
Menurutnya, harmoni dalam keberagaman harus dipertahankan bahkan diperkuat untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan. Dan ini menjadi tugas duta damai dunia maya dengan menyebarkan konten perdamaian, persatuan, kebhinnekaan, dan toleransi, baik secara online maupun offline.
Kemudian, tambah Nurwakhid, Indonesia juga memiliki ormas keagamaan yang moderat. Di Islam ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Washliyah, Nahdlatul Wathan, Darut Dakwah Wal Irsyad (DDI), dan lain-lain. Di Nasrani ada Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), sementara di Hindu ada Parisada Hindu Darma Indoonesia (PHDI), kemudian Buddha ada Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan di Konghuchu ada Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
“Pancasila, Budaya dan Kearifan Lokal, dan Ormas Moderat inlah yang sedang dan akan terus dirusak oleh kelompok radikalisme dan terorisme,” tukas Nurwakhid.
Ia menjelaskan bahwa terorisme bukan tujuan akhir, tapi alat untuk mencapai tujuan sarana propaganda untuk mencapai utamanya yaitu gerakan politik yang ingin mengambilalih kekuasaan, dan mendirikan negara agama menurut versi mereka dengan mendistorsi, memanipulasi, dan mempolitisasi agama.
“Jadi terorisme itu hilirnya, hulunya radikalisme. Ini virus karena semua teroris pasti dijiwai radikalisme, meski mereka yang terpapar radikalisme tidak mesti jadi terorisme,” jelas mantan Kabag Ops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini.
Pada kesempatan itu, ia juga memberikan pemahaman para peserta tentang apa itu radikalisme. Ia menjelaskan bahwa radikalisme itu adalah paham anti-Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Berawal dari terpapar radikalisme itu, mereka akan kecewa, frustasi, dendam, dan benci, yang kemudian berujung dengan melakukan aksi terorisme. Intinya virus radikalisme dan terorisme itu bersifat intoleran dan eksklusif dengan mengatasnamakan agama.
Ia menegaskan, radikalisme dan terorisme itu sejatinya adalah musuh agama dan musuh negara. Karena tindakannya bertentangan dengan nilai luhur agama yagnn mewajibkan akhlakul karimah, mencintai negara, menghormati pemerintah yang sah dan menghormati antar sesama.
“Mereka memecah belah umat, memunculkan phobia, kalau dibiarkan akan menimbulkan konflik. Sebelum terjadi konflik, biasanya didahului maraknya radikalisme mengatasnamakan agama, dan berkolaborasi dengan pihak antipemerintah yang sah dan asing. Ini namanya neo-kolonialisme atau bentuk baru yaitu proxy war dan proxy ideology,” terang Nurwakhid.
Sebelumnya, penulis dan influencer Maman Suherman memberikan materi dengan tema “Peran dan Penggunaan Media Dalam Memberikan Pemahaman Toleransi dan Moderasi Beragama”. Ia memaparkan bahwa keberagaman Indonesia merupakan sunatullah dan menjadi senjata pemersatu bangsa.
“Bahwasanya pembeda hanyalah tanda pengenal masing-masing ketika berinteraksi satu sama lain. Kebhinnekaan ini sejatinya menuju satu tujuan bersama yaitu komitmen akan NKRI yang berkedaulatan rakyat dan berdasrkan Pancasila,” kata Maman.
Maman juga menguraikan bahwa duta damai dunia maya wajib paham dengan berbagai jenis media sosial. Ini penting agar konten-konten yang dibuat dan disebarkan duta damai dunia maya tepat sasaran dan efektif memberikan pencegahan radikalisme dan terorisme, khususnya kepada generasi muda.
Menurutnya, jenis-jenis sosial media antara social networking seperti Linkedin, Twitter dan Facebook, untuk tetap terhubung secara online dan berbagi informasi beserta ide.
Kedua yaitu media sharing networks untuk fokus visual termasuk dalam membangun bisnis secara visuL spt Instagram, YouTube, Snapchat dan TikTok. Ketiga discussion forum yaitu ruang berbagi pengatuhuan serta untuk melemparkan pendapat dan opini Quora, Redit dan Kaskus di Indonesia.
“Di media sosial ini, adik-adik duta damai dunia maya harus membuat kontan berupa cerita pengalaman tentang toleransi dan keberagaman di masing-masing daerah. Mengambarkan indahnya keberagaman perlu diviralkan di social networking,” kata mantan jurnalis Kompas Group ini.