Bergabungnya Prabowo Subianto ke Pemerintah Jadi Strategi Jokowi Netralisir Kelompok Radikal

Sleman – Bergabungnya Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra ke koalisi pemerintah dinilai sebagai strategi Jokowi untuk menetralisir kelompok radikal. Pasalnya, sejak Pilkada DKI tahun 2017 lalu polarisasi antara kelompok nasionalis dengan muslim radikal sudah terbentuk. Tren ini terus berlanjut di Pilpres 2019, yang mana isu agama dipakai salah satu parpol untuk mendulang suara.

Penilaian ini disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof Ratno Lukito kantor Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Sleman, DIY, Selasa (22/10).

Jokowi, kata Ratno, selama Pilpres 2019 lalu selalu diposisikan sebagai musuh Islam oleh kelompok muslim radikal. Sedangkan pesaingnya, Prabowo justru dianggap sebagai pembela agama. Bisa dikatakan Prabowo menjadi pintu masuk kelompok muslim radikal.

“Bagaimanapun juga (Pilpres 2019) kemarin itu Prabowo sudah dapat dikatakan menjadi pintu masuk bagi kelompok agama politik,” kata Ratno.

Menurut Ratno, Jokowi menangkap gelagat menguatnya kekuatan dari kelompok muslim radikal usai Pilpres 2019. Untuk memecah kekuatan itu, maka Jokowi menarik Prabowo dan Partai Gerindra ke koalisi pemerintah. “Jadi ini strateginya Jokowi,” tuturnya.

“Jadi kalau dilihat dari sini maka sebetulnya agenda Jokowi yang kedua ini ingin menyelamatkan, supaya (kekuatan kelompok muslim radikal) itu bisa dinetralkan dengan jalan Gerindra masuk. Karena mungkin jalan terbaiknya begitu,” sambungnya.

Terkait kekhawatiran tidak optimalnya check and balance karena Partai Gerindra bergabung ke koalisi pemerintah, Ratno tak mengkhawatirkannya. Sebab peran parpol oposisi di pemerintahan Jokowi periode pertama pun nyatanya juga tak maksimal.

“Lima tahun pertama pemerintahan Jokowi itu kan sebetulnya dapat dikatakan DPR pun bukan oposisi, tapi yang kemudian kita sebut dengan nyinyirisme, jadi hanya kelompok nyinyir. Bukan kelompok oposisi yang bisa berperan sebagai check and balance,” ujarnya.

Sebagai negara demokrasi, lanjut Ratno, sebenarnya check and balance bisa diperankan oleh kekuatan di luar eksekutif seperti legislatif dan yudikatif.

“Bahwa check and balance selama ini sudah berusaha kita lakukan dengan lembaga tinggi negara itu,” tandasnya.