Jakarta – Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Artinya dengan demokrasi siapapun bebas dalam menyatakan pendapatnya. Walaupun demikian, pendapat yang dikemukakan, baik di ruang tertutup maupun dipublikasikan secara luas, harus menjunjung tinggi etika berdemokrasi.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Rully Nasrullah, M.Si, menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi, siapapun bebas menyatakan pendapatnya melalui apapun, termasuk media sosial. Pasalnya demokrasi menjamin hak warga negara Indonesia untuk berbicara dan beropini. Akan tetapi, menjadi keprihatinan bersama jika kebiasaan menjatuhkan figur tertentu justru menjadi budaya, dibandingkan dengan menonjolkan kelebihan dari tokoh yang didukung.
“Persoalannya adalah kebanyakan di media sosial itu malah lebih ke apa yang tidak mereka dukung gitu. Maka mau tidak mau, ketika membicarakan apa yang tidak mereka dukung itu yang terjadi bukan proses dialog, tetapi perdebatan yang kontraproduktif. Semestinya ketika kita telah dewasa dalam menyatakan dukungan dan punya literasi yang cukup, maka yang dilakukan adalah melempar pertanyaan, bukan malah menjatuhkan figur tertentu,” terang Rully pada Rabu (17/1/2024).
Misalnya saja, lanjut Rully, ketika ada peserta pemilihan umum yang memiliki program untuk menyehatkan masyarakat, bisa ditanya apa rincian program dan perencanaannya. Melalui format pertanyaan, masyarakat bisa mengetahui lebih jauh apa yang ingin disampaikan pihak lain dan dapat menciptakan dialog yang efektif.
Menurutnya, persoalan yang saat ini umum terjadi adalah justru masyarakat Indonesia masih tertarik pada black campaign pada tokoh yang dianggap berseberangan. Hal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif, bahkan sampai melakukan character assassination atau pembunuhan karakter.
Rully menilai, sudah bukan hal yang mengherankan jika lebih banyak yang tertarik pada berita atau pencitraan yang negatif ketimbang positif. Media-media yang terlibat seringkali juga larut dalam permainan saling menjatuhkan antar masing-masing kontestan politik. Ironinya, kampanye negatif seringkali dianggap sebagai cara yang mudah dan efektif untuk menggaet perhatian masyarakat luas, terlepas dari tingkat ekonomi dan latar belakang mereka.
“Karena begini, bikin orang bahagia itu kadang-kadang susah, tapi kalau bikin benci orang terhadap pihak tertentu, itu jauh lebih gampang. Saya juga tidak menyalahkan para konsultan politik dengan segala macam strategi yang mereka tawarkan pada pihak yang merekrutnya. Mungkin saja masih ada segelintir dari konsultan ini yang berpikir untuk memasukkan character assassination sebagai program kampanye yang mereka rancang,” tambah Rully.
Perlu disadari, ungkapnya bahwa masyarakat Indonesia masih dan akan terus belajar berdemokrasi yang baik. Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, sebenarnya Indonesia patut bersyukur karena bisa proses pemilihan umum, baik eksekutif atau legislatif, yang semakin membaik tiap periodenya.
Rully Nasrullah yang juga pernah menulis buku “Manajemen Komunikasi Digital” ini menyampaikan bahwa kampanye negatif memang masih menjadi hal yang menakutkan, apalagi algoritma dari mesin pencari di internet seperti Google dan sebagainya, akan cenderung menampilkan hal negatif karena justru bisa menarik banyak pengunjung. Fandom atau basis pendukung yang fanatik dan irasional akan senang sekali jika menemukan bahan baru untuk menjatuhkan lawannya.
“Disinilah rasa tanggung jawab dari seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang aktif bermedia sosial, harus dikedepankan. Tanpa terkecuali, semua pihak harus mengonfirmasi kebenaran setiap berita yang datang kepadanya,” tuturnya.
Namun faktanya, ungkap Rully, jumlah simpatisan politik yang belum dewasa dalam berbeda pendapat masih cukup banyak, dan bahkan cenderung lebih vokal ketimbang mereka yang memilih dialog secara sehat. Maka dari itu, perlu kedewasaan yang sangat luar biasa bagi tiap warga negara Indonesia untuk menanggapi semua isu, informasi, dan berita yang beredar.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat yang bermedia sosial juga harus mampu menyeimbangkan kebebasan berpendapat tanpa merusak nama baik seseorang, karena itu merupakan tindak pidana.
“Kalau dalam KUHP, seandainya ada orang yang menyampaikan sesuatu dan kita merasa tidak senang, itu kan bisa kena delik pidana. Apalagi itu sifatnya fitnah, pencemaran nama baik,” kata Rully.
Ia juga mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran narasi negatif dan fitnah di media sosial penting untuk dilakukan. Hal ini untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
“Saya pikir itu sudah diatur di situ, ketika seseorang menyampaikan pendapatnya di media sosial dan saya tidak senang, karena itu pencemaran nama baik, itu sudah masuk ke delik pidana, sudah ada bukti, locus delicti-nya (tempat terjadinya tindak pidana) memang kan sudah diakui itu kalau di media sosial,” imbuh Rully.
Menurutnya, masyarakat Indonesia masih perlu belajar untuk beretika dalam berpendapat di media sosial. Hal ini terlihat dari banyaknya narasi negatif dan fitnah yang tersebar di media sosial menjelang Pemilu 2024.
“Makanya saya pikir di Indonesia ini kita sedang belajar berdemokrasi, dan masyarakat Indonesia perlu tahu, sehebat-hebatnya para tokoh politik bertengkar di televisi, sehebat-hebatnya para tokoh politik, calon partai, sampai calon presiden bertengkar di media televisi tapi mereka baik-baik saja setelah itu. Nah masalahnya para pendukungnya menjadi tidak baik-baik saja. Singgungan antar tokoh secara dramatis di layar kaca sayangnya dianggap sebuah realitas oleh masing-masing pendukung,” pungkas Rully.