Berbondong Meninggalkan “Negara Islam”

Idul adha telah dekat, hari kebahagiaan bagi seluruh umat Islam itu telah sampai di ambang pintu. Sebentar lagi, muslim yang memiliki kelebihan rizki akan berbagi dengan saudara yang kurang mampu melalui ritual kurban, sehingga idul adha ini dipenuhi dengan kebahagaiaan. Namun sayang, sebagian saudara kita di Suriah dan sekitarnya jutru masih berada dalam ketakutan yang mencekam dan rasa ketidakpastian yang berkepanjangan. Ironisnya perasaan yang jauh dari kebahagiaan Iedul adha itu ditebarkan oleh mereka yang mengaku sebagai saudara seiman.

“The power of powerless”, kekuatan orang-orang yang tidak memiliki kekuatan, begitulah rombongan pengungsi Suriah itu menyebut diri mereka. Ribuan warga Suriah dan sekitarnya meninggalkan negeri tercinta akibat kejahatan perang yang disebar oleh kelompok keras yang tidak lagi peduli pada kemanusiaan. Anak-anak, kaum perempuan dan orang tua dipaksa berjalan berkilo-kilo meter melintasi perbatasan beberapa negara untuk menjauhi “negara Islam” dan menjauhi penderitaan perang.

Berat sekali rasanya menyebut negeri yang kini penuh dengan kekerasan dan kesewenang-wenangan itu dengan sebutan negara Islam, sebagaimana nama itu dipaksakan untuk digunakan. Kelompok penebar rasa takut itu menyebut diri mereka “Islamic state” yang padanan dalam bahasa Indonesianya adalah “Negara Islam”.

Baiklah, untuk sementara sebut saja “Negara Islam” (dengan tanda petik) atau kita gunakan inisial (IS) saja. Bulan ini adalah bulan dimana IS telah sampai pada puncak misinya dalam menebar ketakutan dan terror kepada dunia. Ribuan orang dari Suriah dan sekitarnya telah menjadi korban mereka. Ribuan warga tidak berdosa kini harus berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka yang telah dirampas oleh IS.

UNHCR mencatat tidak kurang dari seribu masyarakat sipil menyeberangi perbatasan-perbatasan Budapest, Austria dan mulai memasuki kawasan Jerman. Tidak ada tujuan lain bagi mereka selain menjauhi “Negara Islam”. Konsepsi tentang negara Islam memang masih dalam perdebatan, beberapa kalangan sangat yakin bahwa islam tidak pernah ‘secara resmi’ memuat ajaran tentang pendirian sebuah negara berbasis agama, sementara sebagian yang lain begitu percaya bahwa Islam sangat bisa diaplikasikan dalam bentuk negara.

Dari sekian banyak perdebatan tentang negara Islam, atau Islam yang dijadikan sebagai landasan sebuah negara, tidak pernah ada satupun pembahasan yang menyebutkan bahwa bentuk negara Islam boleh melakukan kekerasan. Karenanya menyebut negara yang sedang mengumbar kekerasan dan ketidakadilan di timur tengah saat ini dengan sebutan “negara Islam” tentu merupakan sebuah kesalahan fatal.

Mendiami negara yang subur permai, makmur dan senantiasa mendapat pengampunan dari Tuhan, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur adalah cita-cita semua umat Islam. Namun cita-cita itu kini dihancurkan oleh kelompok yang menyebut diri meraka “mujahid negara Islam”. Kebahagiaan “negara Islam” yang dijanjikan oleh kelompok teroris berpanji hitam ini ternyata hanya bualan semata.

Bagaimana mungkin sebuah negara bisa permai jika pusat-pusat kebudayaan dihancurkan? bagaimana mungkin negara tersebut subur jika darah dan kebencian yang dialirkan? Tuhan memang maha pengampun, tetapi dosa membunuh dan merusak bukan hanya dosa kepada Allah, melainkan dosa kepada sesama, pengampunan Allah tidak akan turun sampai sesamanya memberikan pengampunan.

Ribuan pengungsi yang meninggalkan “negara Islam” itu kini diterima oleh warga negara Jerman. Rasa persaudaraan sesama manusia melintasi agama dan golongan. Sepanjang jalan ribuan orang itu disambut oleh para relawan, mereka diberikan makanan, minuman, selimut dan hangatnya persaudaraan tanpa bertanya apa agama mereka. Dukungan tanpa label itu memberikan kekuatan bagi ribuan pengungsi yang sebelumnya tidak berdaya.

Sementara di sisi yang lain, kita disuguhkan munculnya berita tentang adanya beberapa orang yang rela bukan saja meninggalkan “negara Islam”, tetapi bahkan meninggalkan Islam demi sebuah suaka agar dapat hidup di negara lain dengan damai dan aman. Jika hal ini benar, maka tentulah ini merupakan gambara yang pedih, kadzal fakru ayyakuna kufron, kekufuran mendekatkan seseorang pada kekafiran.

“IS” telah membuat ribuan orang pergi dari negeri tercintanya, sebagian dari mereka bahkan telah diambang kekafiran karena kekejaman “IS”. Semoga kita semua bisa menjadi manusia sejati yang selalu membawa kebahagiaan bagi yang lain. Amin.