Semarang – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus berupaya membendung penyebarluasan paham radikal-terorisme di seluruh penjuru negeri. Kali ini BNPT melakukan hal itu dengan mengunjungi Jawa Tengah guna menggandeng media massa yang ada di provinsi itu untuk bersama-sama melakukan upaya nyata penanggulangan paham radikal-terorisme.
“Tujuannya bukan untuk menggurui, karena kami yakin media massa sudah cukup bijaksana dalam pemberitaannya. Tujuan kami adalah penyegaran, mengingatkan media massa untuk lebih patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik dalam setiap karya yang dihasilkannya, sehingga tidak kontra produktif dengan tujuan pencegahan terorisme,” kata Kasubdit Kewaspadaan Direktorat Pencegahan BNPT, Andi Intang Dulung, Rabu (20/4/2016).
Dalam kunjungannya ini BNPT dijadwalkan akan melaksanakan dua kegiatan utama, Pertama adalah Media Visit, yaitu kunjungan ke redaksi media massa untuk berdiskusi dengan jajaran redaksi tentang upaya pencegahan terorisme. Sementara kegiatan kedua adalah Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa Pers dalam Meliput Isu-isu Terorisme.
“Diseminasi akan dilaksanakan hari Kamis, tanggal dua puluh satu April di Hotel Semesta. Bapak Sestama BNPT akan hadir untuk menyampaikan pidato kunci, sementara narasumber ada Bapak Imam Wahyudi dari Dewan Pers dan Kapolda Jawa Tengah,” tambah Andi.
Sohirin, koresponden Tempo di Semarang, menyambut baik kegiatan yang akan dilaksanakan oleh BNPT. Diakuinya, Jurnalis di lapangan selama ini belum memiliki pengetahuan khusus terkait peliputan terorisme.
“Jika ditanya apakah urgent (untuk diadakan pelatihan), ini bukan persoalan urgent. Tapi ini kebutuhan bersama, Jurnalis secara umum, tentu termasuk di Semarang, belum ada pedoman tentang bagaimana meliput sebuah peristiwa terorisme,” ujar Sohirin.
Sohirin menambahkan, di lapangan masih seringkali ditemukan adanya praktek stigma dan bias dalam aktifitas peliputan peristiwa terorisme. “Contoh kasus masih ada media massa yang menstigma orang bertato adalah preman, dan ini juga berlaku di isu-isu terorisme. Yang seperti ini media massa harus dilatih, disegarkan lagi bahwa ada aturan di Kode Etik Jurnalistik yang melarang stigma,” tegasnya.
Sementara Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Willy Pramudya, mengatakan beberapa hal yang juga diatur dalam Pedoman Peliputan Terorisme adalah larangan framing dan glorifikasi. Dikatakannya, belum lama ini sebuah media cetak di Jawa Tengah menjadikan berita berjudul ‘Jenazah Siyono Wangi’ sebagai headline.
“Dalam isu terorisme, glorifikasi atau membesar-besarkan pelaku teror bisa berakibat menggelorakan semangat orang lain untuk melakukan kejahatan terorisme. Media massa harus peka terhadap hal yang semacam ini, karena memang tugas media adalah mengedukasi masyarakat,” tutup Willy. []