Dari berbagai pergerakan ISIS di Asia Tenggara, sudah selayaknya Indonesia belajar dari keberadaan ISIS, khususnya terkait pola gerakan dan penyebaran propaganda kebenciannya. Berikut adalah analisis penulis tentang poin-poin pembelajaran yang perlu penekanan lebih untuk menjaga keamanan nasional Indonesia.
- Belajar dari Filipina.
Sebetulnya ancaman di Filipina tidak lebih berat dari ancaman teror yang pernah dialami Indonesia. Semula, pergerakan di Filipina Selatan adalah berbentuk pemberontakan terhadap pemerintah secara lokal (homegrown) yang semula dilakukan oleh MILF pimpinan Ustads Selamet Hasim yang kemudian diganti oleh Ustad Murod dan MIM (Mindanao Independent Movement ) yang kemudian berubah menjadi MNLF pimpinan Abdul Rajak Janjalani yang pernah bersekolah di Universitas Ummul Qura di Mekah dan setelah 3 tahun dia kembali ke Basilan dan Zamboanga untuk ‘berdakwah’ (1984).
Tahun 1987 ia berangkat ke Libya, selanjutnya ke Afghanistan untuk membantu mujahidin Afganistan mengusir Uni Soviet. Sebagai orang yang sangat dekat dengan gerakan fundamentalis – Al Islamic Tabliq, Abdul Rajak membulatkan tekad untuk membentuk “Theocratic State of Mindanao” dengan deklarasi berjudul “4 Dasar Pembenaran” yang berlaku bagi perjuangan MNLF. Tetapi persoalan terkait sikap nasionalisme membuat MNLF terpecah.
Sebelumnya, antara tahun 1972 sampai tahun 76 pimpinan MNLF Nurmisuari melakukan perundingan damai dengan pemerintah filipina demi diperolehnya otonomi khusus bagi Mindao . Puncaknya terjadilah perundingan damai di Tripoli yang dikenal sebagai “Perjanjian Damai Tripoli” disaksikan langsung oleh Muamar Khadafi. Akibatnya terjadi perpecahan internal MNLF menjadi BIFF (Bangsa Moro Freedom Fighter) dan Abu Sayaf Group (ASG).
Sementara MILF bertahan dengan konsep perjuangannya sendiri. Pada MILF lah militant asal Indonesia (dulu Al Jamaah Al Islamiyah – JI) bergabung dan berlatih ala Militer di akademi Kamp Hudaibiyah pada masa JI berjaya. Sementara BIFF menjadi bagian lain yang melahirkan dua bersaudara Abdullah Moute dan Omar Khayam Moute yang menjadi mesin pembunuh saat ini.
Beberapa catatan penting untuk diperhatikan adalah, serangan-serangan oleh pasukan elit dan batalion infantri Filipina terhadap Abu Sayaf dan kelompok Moute sepertinya justru membuat mereka tambah kuat. Pasukan 710th Special Operation Wing (AU), Force Reconnaissance Batalyon (AL), light reaction regiment, Naval Special Operation Group (Al), Swot Ranger Regiment (AD), dan Special Action Force (Polisi) tidak mampu melemahkan Abu Sayaf dan Moute.
Berita rilisan pemerintah Filipina tanggal 30 Januari 2017 yang menyatakan Isnilon Tatoni Hapilon luka parah dan diduga meninggal bersama seorang warga negara Indonesia disambut dengan ledekan oleh Hapilon. Kegagalan militer mengejar kelompok Moute yang menjebol penjara Lanao Del Sur tanggal 26 agustus 2016 mengakibatkan sejumlah tentara luka parah. Alih-alih menyerah, tanggal 28 Agustus 2016 para tahanan justru diberitakan berbai’at kepada Al Baghdadi.
Tanggal 3 Maret 2017 Talipao dibombardir oleh pasukan elit udara dan batalion 4 dari batalion infantri ke 44 pasukan Filipina, mengakibatkan tentara filipina berguguran. Kegeraman presiden Duterte atas kekejaman teroris dan kekalahan pemerintahnya ia sampaikan dengan berapi-api di illegan dengan mengatakan “Baka pataina Isnilon Tatoni Hapilon” dalam bahasa filipina yang artinya Isniloh Tatoni Hapilon telah mati. Kemudian yang memilukan, kegagalan penyerbuan dibalas dengan pengambil alihan atau pendudukan kota Marawi oleh teroris.
Kelompok 2 bersaudara yang kepalanya dihargai 5 juta US dolar itu telah merontokan wibawa pemerintah Filipina. Belum lagi ada kekuatan dukungan penuh ISIS pada walayat yang telah memiliki ‘DPR’ sendiri (Ahlus Surah). Pun telah dilengkapi pula dengan 4 batalion tempur yang memiliki persenjataan canggih.
Penulis jadi teringat saat tahun 2008 penulis bertemu dengan seorang jenderal polisi berpangkat Brigadir Jenderal, Ricardo Romero namanya, ia adalah komandan pasukan khusus (sebagaimana Densus 88 Polri) yang bernama “Shanglahi Task Force“. Dia dengan berseloroh mengatakan Shanglahi Task Force akan dibubarkan, maka sulitlah militer untuk melakukan penelusuran mendalam atas teŕoris.
Dan ternyata betul, hari ini Sanglahi Task Force telah tidak ada lagi. Telah dibubarkan. Akibatnya jaringan di Filipina sulit diukur dan ditelisik. Identifikasi FTF (foreign terorist fighter) dari negara tetangga tidak bisa dideteksi sempurna. Semua hanya perkiraan-perkiraan. Akibatnya militer banyak kehilangan pasukan terbaiknya. Bahkan tentara mengalami kesulitan karena kendaraan lapis baja mereka pun bisa ditembus dengan home made RPG yang mereka beri nama HEAT (high explosive anti tank). Untuk mengurangi resiko kendaraan lapis baja militer, harus ditutup dan dilapisi dindingnya dengan kayu.
2. Belajar Dari Malaysia
Serangan di Puchong pada bulan juni 2016 lalu cukup membuat Malaysia tersentak. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata radikalisme terorisme telah berkembang dengan masif di Malaysia. Tanggal 13 sampai 14 januari 2017 otoritas Malaysia menangkap seorang warga negara Filipina, dua orang warga Bangladesh dan seorang wanita warga Malaysia yang ingin menyeberang ke Filipina selatan. Sabah dijadikan transit untuk masuk ke Mindanao. Beberapa kalangan terdidik seperti DR Mahmud Achmad dari universitas Malaysia juga bergabung dengan ISIS dan didengar kabar mendirikan juga Walayat Al Muhajir bersama Zuraimi, Staf pada universitas yang sama. Malaysia khususnya Sabah, telah dijadikan tempat merekrut dan transit. Semua jaringan harus terus dipantau.
3. Belajar dan mewaspadai Myanmar sebagai Ancaman baru kedepan.
Isu bahwa ada beberapa kelompok dari komunitas yang disuport oleh ISIS menjadi persoalan sendiri bagi Myanmar. Kelompok radikal diindikasikan berafiliasi dengan Al Qaedah. Di dalam negeri juga ada cabang Al Qaedah. Mereka percaya bahwa ada gerakan besar dari teroris Timur Tengah yang menghendaki orang Rohingya menikahi gadis Budha. Disinyalir bahwa ada individu-individu Rohingya yang menjalin kontak dengan Harkat Ul Jihad, Al Islami dan underbow Al Qaedah di Bangladesh. Bangladesh menekan ARNO (Arakan Rohingya National Organisation) untuk mengajak KNPP ( Karen National Progresive Party) untuk memindahkan pangkalan ke wilayah KNPP (perbatasan Thailand dan Burma). ARNO di sisi lain berusaha menjadi aliansi DAB (Diplomatik Aliance Burma) yang ditolak KNPP dan DAB. Arno punya link dengan Al Qaedah dan berbasis di tenggara Bangladesh, di Zailar Sawri. kelompok yang memberontak di Myanmar adalah RSO (Rohingya Solidariti Organization), ARIF ( Arakan Rohingya Islamic Front) dan RNC ( Rohingya National Council ). Persoalan akan menjadi runyam manakala ARNO, RSO, ARIF dan RNC bersedia berbai’at pada ISIS.
Bagaimana posisi Indonesia ?
Mengingat banyaknya sel tidur di Indonesia, maka sangat memungkin sel ini tibatiba bangun, terpancing oleh situasi regional dan melakukan amaliah tidak terkendali. Karena walayat Filipina dan walayat Al Muhajir hidup dan berkembang di Filipina akan menjadi magnet yang begitu kuat untuk merangsang sel untuk berangkat mendukung Abu Sayaf dan kelompok Maute yang telah berbai’at kepada Al Baghdadi.
Apabila kelompok radikalis pendukung Rohingya berbaiat pada ISIS atau ISIS mau bergabung dengan Al Qaedah, sebagaimana Jabal Al Nusra dan ISIS menjadi Path Asy Syam, maka Aceh dan Sumatra akan tertular gerakan itu.
Mengantisipasi itu semua maka diperlukan kerjasama antar negara regional, dalam bentuk saling tukar informasi, peningkatan kapasitas, join operation serta pemberian akses seluas-luasnya pada negara dalam mengembakan jaringan di kedua negara dan negara lain secara bilateral dan multilateral.
Semoga bermanfaat