Jakarta – Belajar agama Islam harus cerdas terutama dalam memahami ayat-ayat Al Quran dan hadits. Itu penting dalam menangkal propaganda paham radikalisme dan terorisme yang banyak memutarbalikkan makna ayat Al Quran dan hadits untuk menjalankan aksi-aksi keji mereka.
“Islam itu harus dipahami secara benar dan tidak setengah-setengah. Bila pemahaman kita dangkal, maka kita tidak akan bisa melawan doktrin dari luar yang mengatasnamakan agama Islam. Padahal doktrin itu intinya jauh dari pengertian agama Islam itu sendiri. Itulah yang sekarang digunakan pengikut paham radikalisme dan terorisme, khususnya ISIS, dalam menjalankan propagandanya. Mereka mengatasnamakan Islam tapi sebenarnya jauh dari Islam itu sendiri,” ujar Ustadz Abdurrahman Ayyub, mantan teroris yang kini telah tobat dan komit membantu pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme di Jakarta, Rabu (21/9/2016).
Ustadz Ayyub menjelaskan bahwa pada 1437 tahun lalu, sebelum kelompok ini muncul, Nabi Muhammad SAW sudah mengisyaratkan akan adanya kelompok ini seperti disebutkan dalam hadits-hadits sohih. Menurut nabi, mereka memang membaca Al Quran, tapi pemahamannya dangkal. Namun dengan pemahaman yang dangkal itu, mereka sudah berani berkoar-koar seakan paling paham.
“Sekarang malah lebih seram lagi, seperti yang dilakukan ISIS. Mereka selalu mengusung ayat Al Quran dan hadits, dalam menjalankan aksi biadabnya. Mereka mengkafirkan orang yang tidak sepaham dan menghalalkan darah mereka untuk dibunuh, merampok, dan memperkosa” ungkap Ustadz Ayyub.
Selain pemahaman agama Islam, peran keluarga juga sangat penting dalam membendung propaganda radikalisme dan terorisme. Ia mengaku beberapa hari lalu mendapat kabar bahwa ada teman orang Aceh, yang baiat dengan ISIS. Dia ini dibaiat dengan memanfaatkan teknologi dan dunia maya.
Menurut Ustadz Ayyub, ISIS sangat lihai memanfaatkan teknologi informasi dalam menjaring pengikut. Dan anak Aceh ini terbaiat dengan lebih dulu kecanduan bermain game online. “Awalnya main game perang. Dari game itu nanti akan ada komunikasi bahwa pemainnya nanti akan dapat hadiah riil, setelah mereka sebelumnya dalam hadiah berupa senjata, granat, roket, RPG, dan lain-lain. Lama-lama anak ini penasaran apa hadiah riil itu. Dari sinilah anak itu terbawa dan hampir berangkat ke Suriah. Dalam pengakuannya, ia sudah disiapkan tiket gratis, iming-iming gaji besar, serta disiapkan perempuan cantik di Suriah. Padahal faktanya itu hanya mimpi. Beruntung anak ini sadar, meski empat temannya jadi berangkat dan sekarang sudah tewas di Suriah,” papar pria yang pernah menjadi Ketua Mantiqi IV Wilayah Australia Jamaah Islamiyah ini.
Disinilah, lanjut Ustadz Ayyub peran keluarga itu sangat penting, khususnya dalam membentengi anak-anak dari paham radikalisme dan terorisme, serta ISIS. Kalau keluarga mampu mengarahkan anaknya dalam belajar agama serta dalam pergaulan lainnya, terutama yang berkaitan dengan internet, ia yakin anak-anak muda Indonesia akan kebal dari sasaran rekrutmen ISIS.
“Carilah guru atau ustadz yang benar-benar paham agama. Jangan sekali-sekali membiarkan anak belajar dari ustadz Google atau situs pencari apapun di internet. Tanyalah pada guru, kiai, ustadz, bila ingin tahu ayat dan hadits yang shahih,” tegas Ustadz Ayyub.
Ustad Ayyub menegaskan, bahwa bila seseorang telah terkena propaganda radikalisme dan terorisme, maka akal mereka akan dangkal dan logikanya rusak. Ia mencontohkan dirinya sendiri saat terbawa pengaruh paham sesat itu saat menempuh ilmu di bangku STM. Saat itu, ia ikut baiat beberapa kali mulai NII sampai Jamaah Islamiyah. Saat itu ia menurut saja disuruh pergi ke Malaysia, kemudian ke Afganistan selama 5 tahun tanpa diketahui orang tuanya. Lebih parah lagi, saat ayahnya meninggal, Ustadz Ayyub tidak tahu dan tidak mau tahu. Bahkan ia juga tidak mereka rindu sama sekali pada orang tua dan keluarganya.
“Ini bukan katanya-katanya. Orang yang bergabung dengan kelompok itu akalnya rusak, dan membunuh keakraban dengan keluarga. Bahkan saat masih front saya mendapat doktrin, kalau mimpi keluarga itu adalah gangguan setan. Padahal itu fitrah manusia, rindu lama tidak bertemu saudara. Jadi logika dan akal sehatnya dimatikan melalui doktrin-doktrin sesat mereka,” ungkapnya.
Intinya, tegas Ustadz Ayyub, jangan sekali-sekali berhubungan dengan paham radikalisme dan terorisme. “Mereka membaca Al Quran hanya sampai kerongkongan, tapi langsung mengkafirkan orang. Saat itu saya didoktrin dengan surat Al Maidah ayat 44 yang bunyinya ‘barang siapa tidak berhukum pada hukum Allah, maka mereka kafir’. Dengan begitu NKRI ini dianggap kafir, pemimpinnya kafir, TNI/Polri/Pegawai Negeri kafir. Dan risikonya, mereka harus diperangi dan hijrah dari negeri kafir. Padahal pemahaman ayat itu tidak seperti itu, tapi sangat luas,” pungkas Ustadz Ayyub.