Surabaya – Benang merah sudah berhasil dirangkai terkait proses radikalisasi para pelaku teror bom Surabaya yang dilakukan oleh tiga keluarga. Mereka selama ini ternyata sering berkumpul dalam sebuah pengajian rutin, yang notabene menjadi proses radikalisasi mereka.
Hal ini setelah polisi berhasil mendapatkan keterangan dari anak pertama Anton, pelaku yang ditembak mati polisi setelah bom di Rusunawa tak sengaja meledak. Bocah yang masih duduk di kelas IV SD itu selamat dari indoktrinasasi karena tinggal bersama neneknya.
“Jadi kelompok ini tiap hari Minggu setelah Magrib ikut pengajian di rumah Dita (Uprianto) di Rungkut yang dihadiri para keluarga teroris. Bapak, ibu, anak- anak. Yang mengajar Dita (yang tewas bunuh diri di gereja),” kata Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin dalam jumpa pers di Mapolda Jatim, Selasa (15/5).
Saat kelas ngaji ini digelar maka anak-anak tak berdosa itu dicekoki video-video teror di Suriah, Irak, Prancis, dan penyerangan di Thamrin.
“Keluarga ini sukses dalam kesesatan. Mereka yakin masuk surga bersama-sama. Untuk anak-anak mereka yang selamat, ada empat jumlahnya, tiga anak Anton dan satu anak Tri (yang meledakan dirinya di Polrestabes Surabaya) akan kita rawat betul dan akan kita berikan pengasuhannya pada keluarganya yang waras,” sambung Machfud dikutip dari beritasatu.com.
Waras dalam artian tidak terkontaminasi ideologi militan yang menghalalkan segala cara termasuk bunuh diri itu. Anak-anak yang selamat ini akan mendapat pendampingan dari sisi mental, psikologis, dan deradikalisasi karena mereka sudah terpapar. Mereka diyakini sebagai korban dan bukan pelaku tidak dipidana.
“Bayangkan saja mereka ini tidak disekolahkan. Mereka memang. ngaku dan menyebut homeschooling di rumah padahal itu juga tidak ada. Anak-anak ini dikungkung dan dikurung dengan ibu dan ayah yang keliru begitu,” lanjutnya.
Anak-anak itu juga tidak berinteraksi dengan masyarakat luas. Mereka terus menerus dicekoki dengan keyakinan yang keliru yang sejauh ini mengakibatkan 26 korban tewas (13 pelaku dan 13 masyarakat) tewas itu.
Saking militannya, Machfud menceritakan, dihari pengeboman itu mereka bahkan membawa KTP dan KK bersama mereka.
“Mereka tampaknya ingin berpesan supaya mereka segera diidentifikasi karena mereka tidak takut mati. Ini aneh memang. Ada dua guru mereka yang masih kita kejar (termasuk Cholid Abubakar),” lanjutnya.