Jakarta – Propaganda dan teror aksi radikalisme dan terorisme telah memunculkan banyak orang yang ‘bertitel’ pengamat terorisme. Namun sayang dari banyak pengamat terorisme yang sering muncul di media, sebagian dari mereka tidak paham kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Ironisnya, pendapat para pengamat itu diterima begitu saja oleh masyarakat.
“Orang mengatakan bahwa pencegahan terorisme adalah gagal dan deradikalisasi tidak efektif. Atau apa yang dilakukan negara untuk mereduksi terorisme dianggap gagal. Padahal negara lain mengatakan bahwa Indonesia sukses mencegah terorisme. Cara mengukur sukses dan gagal penanggulangan terorisme harus jelas,” ungkap Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Drs. Hamidin di depan peserta Workshop Pencegahan Propaganda Radikal Terorisme di Dunia Maya Bersama Media OKP dan Ormas yang digelar di Jakarta, Kamis (23/3/2017).
Ia mencontohkan, ada pengamat yang menilai pertemuan BNPT dengan kalangan NU adalah mubazir karena mereka tidak terpapar radikal (pendapat negatif). Padahal langkah itu dilakukan pemerintah untuk melakukan kontra radikalisasi agar paham terorisme tidak menyebar. Begitu juga deradikalisasi yang dilakukan, baik di dalam lembaga pemasyarakat (lapas) maupun diluar lapas.
Menurutnya deradikalisasi yang dilakukan selama cukup berhasil meredam. Faktanya memang demikian. Dulu para teroris bisa membuat bom seberat 1.2 ton saat terjadi Bom Bali. Dulu teroris berani melakukan bom bunuh diri. Sekarang dari beberapa aksi teror di Jalan Thamrin, di Samarinda, dan di Bandung, mereka hanya bisa membuat bom dengan daya ledak rendah.
“Itu artinya, apa yang kami lakukan dengan program deradikalisasi berhasil mengurangi tingkat radikal para teroris, sehingga nyali mereka sekarang makin ciut,” tukas Hamidin.
Selain itu, sejak BNPT berdiri 2010 lalu, sudah ratusan napi terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat. Bahkan mereka kini aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pencegahan terorisme baik itu melalui dakwah,diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan. Sebut saja kakak beradik Ali Imron dan Ali Fauzi. Ali Imron tersangka Bom Bali, sedangkan Ali Fauzi aktivitas Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah lama berguru di Filipina Selatan.
Kemudian Abdurrahman Ayyub (mantan Ketua JI Australia), Abu Dujana, Khaerul Ghazali, Abu Tholut, Tony Togar, Zarkasih, Sofyan Sauri, dan lain-lain. Bahkan Umar Patek yang kepalanya pernah dihargai Rp5 miliar oleh Amerika Serikat, kini juga sudah bertobat siap mendedikasikan sisa hidupnya untuk menjaga perdamaian di Indonesia. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu di Lapas Porong, Sidoarjo, Umar Patek bahkan menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih dan mengucapkan ikrar kesetiaannya.
“Sekarang dinegara mana ada tokoh teroris sekaliber Ali Imron, Abu Dujana dan Zarkasih bisa diajak dialog oleh otoritas pemerintah yang mereka nilai thogut. Itu juga fakta keberhasilan deradikalisasi. Karena itu deradikalisali harus dilanjutkan, tentunya kualitasnya harus ditingkatkan dengan berbagai inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi,” ujar mantan Kapolres Jakarta Pusat dan Metro Tangerang ini.
Pada kesempatan itu, Brigjen Hamidin juga menyoroti peran media yang dinilai justru sering membesar-besar pelaku terorisme. Media dinilainya terlalu profit oriented akibatnya sering terjadi glorifikasi dan fabrikasi terhadap suatu kasus terorisme. Padahal, bila tidak dibesarkan media, aksi-aksi terorisme akhir-akhir ini tidak sebesar berita di media.
Selain itu, juga dipaparkan fenomena terorisme global yang terjadi akhir-akhir ini di Timur Tengah. Menurutnya, ISIS yang tengah terdesak baik di Irak maupun Suriah, tengah menyiapkan strategi untuk bergeser dan mencari wilayah baru untuk mengembangkan pengaruhnya. Kawasan negara-negara di perbatasan Rusia dan Asia seperti Kazakstan, Tajikistan, Turkmenistan, serta Afganistan diincar ISIS untuk menjadi wilayah baru. Selain itu, kawasan Asia Tenggara yaitu Myanmar dan Filipina juga menjadi wilayah alternatif yang diincar kelompok radikal tersebut.