Bangsa Indonesia Harus Terus Pupuk Rasa Persatuan Untuk Raih Cita-cita Bangsa

Batam – Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya sehingga
harus memupuk rasa persatuan dan berjuang bersama untuk mencapai
cita-cita bangsa. Hal tersebut disampaikan Mayjen TNI Dr. Farid
Makruf, M.A., Tenaga Ahli Bidang SKA Lemhannas ini saat memberikan
materi tentang Peran Nilai Organisasi dalam Memperkuat Ketahanan
Nasional di Politeknik Negeri Batam, Selasa (26/11/2024).

Menurut dia, bangsa Indonesia adalah kumpulan dari 1.128 suku bangsa
yang mendiami 17.504 pulau di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang mempunyai luas wilayah 1.922.570 kilometer persegi.
“Bandingkan dengan bangsa Jepang yang hanya terdiri dari 4 suku
bangsa, yaitu Suku Yamato yang terdiri dari 96 persen penduduknya,”
kata perwira tinggi TNI-AD kelahiran Pulau Madura ini.

Bangsa Indonesia, menurut Farid, tidak lahir didasarkan atas persamaan
kesukuan dan kedaerahan, ras atau pun keagamaan. Melainkan lahir dari
persamaan perasaan kebangsaan dan kehendak untuk hidup bersama.

“Sebagai satu kesatuan, Bangsa Indonesia lahir dari cita-cita
kebangsaan untuk sama-sama meraih kemerdekaan,” ucapnya.

Dia menyebut, Indonesia tidak akan hancur karena serangan dari luar,
tetapi dapat hancur dari dalam seperti yang telah terjadi pada
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Untuk itu bangsa Indonesia butuh
pemersatu.

“Bangsa Indonesia dipersatukan oleh Ideologi Pancasila yang dapat
dijadikan sebagai tujuan kebangsaan, cara berdemokrasi, berperilaku
dan sebagai landasan moral bangsa,” kata jenderal yang baru saja
mendapat gelar doktor di Universitas Tadulako, Kota Palu ini.

Farid memaparkan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat
digali, baik itu dari potensi vegetasi, alam hayati, alam non-hayati
hingga potensi sosial budaya. Meski begitu Indonesia punya tantangan
yang patut diwaspadai.

Menurutnya, ada tanda-tanda yang perlu diwaspadai oleh bangsa ini agar
Indonesia tetap utuh sesuai cita-cita pendiri bangsa seperti konflik
elite yang berkepanjangan, krisis ekonomi yang tidak terselesaikan dan
kebangkitan semangat tribalisme yang berlebihan. “Untuk itu kita perlu
menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa untuk mempersatukan
bangsa ini, serta terus menjaga solidaritas antarwarga,” terang Farid.

Farid menegaskan bahwa jika masih banyak warga Indonesia yang berada
di garis kemiskinan bukan karena sumber daya alam yang kurang memadai
atau kondisi alam yang kejam, melainkan karena perilaku yang kurang
baik. “Kita kurang memiliki kemauan untuk mematuhi dan mengajarkan
prinsip dasar kehidupan yang membangun masyarakat, ekonomi dan
negara,” tegasnya.

Dengan sumber daya alam dan kearifan budaya Indonesia yang melimpah
ruah itu, bangsa Indonesia punya peluang besar untuk melejit menjadi
negara maju. Dengan syarat, kata dia, perlu memperhatikan masalah
moral.

“Jangan sampai bangsa kita hancur karena masalah moralitas karena kita
punya segala macam sumber daya namun harus didayagunakan dengan cara
yang benar,” katanya.

Urusan moral ini, menurutnya masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu
diselesaikan dengan melibatkan semua pihak. Salah satu persoalan yang
masih terus terjadi adalah masalah tawuran. “Tawuran terjadi bahkan
pada kelompok masyarakat terkecil seperti tawuran antar perguruan
pencak silat, tawuran antar geng, bahkan juga terjadi tawuran antar
suporter sepakbola pun masih sering kita dapati,” ucap dia.

Selain itu, ancaman radikalisme dalam berbagai bentuk juga masih
menghantui bangsa ini. Pemahaman ekstrem terkait agama, suku bahkan
politik memicu terjadinya pembangkangan dan menentang pemerintah yang
sah. Sehingga bangsa Indonesia perlu memperkuat kembali pemahaman
mengenai ketahanan nasional sebagai benteng pertahanan dalam
menghadapi ancaman radikalisme.

Tak hanya itu, menurut Farid, ancaman ketahanan nasional juga dapat
berupa kejahatan siber atau cyber crime, penyebaran disinformasi yang
makin gencar, spionase, ketergantungan teknologi asing, hingga
terjadinya disintegrasi bangsa.

“Ancaman ini akan berdampak langsung pada stabilitas bangsa yang akan
membuat disrupsi ekonomi dan sosial, polarisasi masyarakat akibat isu
sensitif dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah,” kata
Farid. (TA)