Jakarta – Bangsa-bangsa asing selama ini memuji kearifan lokal di Indonesia yang terbukti mumpuni dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu kearifan lokal itu harus terus dipupuk disamping terus memperkuat ideologi kebangsaan yaitu Pancasila. Kearifan lokal dan ideologi Pancasila menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari ‘serangan’ ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan, terutama yang membawa nama agama.
“Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji islam Indonesia yang toleran,” ujar salah satu kelompok ahli BNPT Irjen Pol (purn) Ansyaad Mbai di Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Menurut Ansyaad, yang juga mantan Kepala BNPT ini, identitas bangsa Indonesia yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, yang diba ditemukan dalam lokal dan ciri masing-masing daerah. Artinya dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa.
Ia mencontohkan, misalnya tiba-tiba seluruh Indonesia diharuskan memakai pakaian adat Jawa seperti kemben, lalu bagaimana dengan orang Bali, Papua, Kalimantan, Sumatera, dan lain-lain. Tentu itu sama saja dengan pemaksaan kehendak. Tapi di Indonesia itu tidak terjadi, karena masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.
“Kalau itu dipaksakan pasti akan terjadi benturan. Jadi sifat saling hormat dan menghormati ini adalah kearifan lokal yang dahsyat dalam memerangi ideologi transnasional, terutama yang ingin memecah belah Indonesia, terutama menggunakan dalil agama,” imbuh kepala BNPT pertama ini.
Contoh lainnya, lanjut Ansyaad, masuknya agama islam ke Indonesia juga tidak dengan perang. Itu terjadi karena ulama yang membawa islam ke Indonesia sangat menghormati kearifan lokal itu dengan berdakwah lewat wayang, kesenian setempat, dan sangat menghargai adat istiadat warisan leluhur.
“Kita harus kembali ke situ. Intinya, jangan memaksakan, apakah pikiran, budaya, cara berpakaian, penampilan fisik, apalagi agama. Kalau dipaksa pasti terjadi benturan. Kalau itu terjadi, maka paham-paham transnasional, terutama yang radikal, akan mudah masuk dan memperkeruh suasana,” tutur Ansyaad.
Saat ini, ungkapnya, secara global telah menjadikan upaya melawan paham radikal menjadi agenda utama, lebih khusus lagi, negara-negara islam, khususnya di Jazirah Arab. Dan Indonesia dinilai sebagai negara yang cukup berhasil meredam paham radikal itu dengan ajaran islam Indonesia dan kearifan lokalnya. Itu dibuktikan dengan kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia yang salah satu agendanya adalam memperkuat kerjasama penanggulangan terorisme.
Menurut Ansyaad, kondisi ini justru dibalik oleh kelompok radikal. Mereka selalu mengatakan, semua-semuanya kita harus belajar dari Arab. Padahal ulama dan cendekiawan Arab yang pernah ditemuinya justru memuji kehidupan beragama di Indonesia. Mereka kagum dengan Indonesia karena bisa damai meski terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan budaya. Beda dengan negara-negara Arab, meski sama-sama beragama islam, mereka tetap terlibat perang dan saling bunuh.
Ironisnya, terang Ansyaad, selama ini, kelompok radikal selalu ‘mengagung-agungkan’ apa-apa yang berbau Arab dan Timur Tengah. Padahal, di Arab sendiri, kelompok radikal juga ditangkapi. Karena itu, penegakan hukum terhadapi kelompok radikal yang disini dielu-elukan seperti selebritis dan mengumbar seruan berpaham radikal, harus ditegakkan. Pasalnya, mereka jelas ingin mendirikan khilafah atau negara islam, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.
“Ini penting demi perdamaian dan kejayaan Indonesia. Apakah kita mau seperti Suriah atau Irak? Dua negara itu hancur karena paham khilafah yang bawa ISIS, juga karena perang saudara karena perbedaan madzhab (aliran),” pungkas Ansyaad Mbai.