Baka Patay Na Isnillon Tatoni Hapilon

Amarah Presiden Duterte meledak dalam  pidatonya di istana Malacanang pada Senin, 3 Maret 2017 lalu. Ia tidak lagi sanggup menahan kegeramannya mendengar 32 prajurit militer dari batalyon infantri ke 41 –yang konon merupakan pasukan pilihan— babak  belur terluka parah  dalam sebuah kontak tembak dengan 80 personil Abu Sayaf di Talipao Sulu, Filipina Selatan. Kontak tembak itu sendiri dikabarkan telah berhasil menewaskan 10 teroris dari kelompok Abu Sayaf.

Dalam kondisi marah itu, Duterte berulang kali mengucapkan kalimat “Baka Patay Na” yang ia tujukan ke teroris yang kini telah didapuk sebagai pemimpin ISIS di Wilayat (markas jauh) Filipina, Isnilon Tatoni Phapilon, yang 2 bulan lalu telah dibombardir menggunakan pesawat tempur militer. Kalimat itu sendiri berarti “dia telah mati”. Hal ini mengingatkan penulis pada sebuah peristiwa di tahun 2007 dan 2008 lalu, di mana presiden Aroyo saat itu mengatakan hal yang sama,  dan bahkan lebih tegas mengatakan bahwa Joko Pitono alias Dulmatin saat itu sudah tewas di tangan militer pilihan Filipina. Karena itu pula penulis bersama 1 tim kecil berangkat ke Manila sambil membawa sample of reference DNA dari ibu dan keluarga Dulmatin lainnya untuk mencari kepastian perihal kabar kematian Dulmatin.

Saat itu, hadir pula sejumlah perwakilan polisi asing untuk ikut membahas permasalahan ini. Dan untuk menjaga netralitas penyidikan, sample DNA dibawa ke negara ke 3. Seminggu kemudian, setelah dilakukan penyidikan mendalam, diketahui bahwa bahwa sample of reference dan DNA dari body part terduga Dulmatin ternyata tidak identik – yang artinya dia masih hidup—. Dan terbukti kemudian, sosok yang sempat diklaim telah meninggal di Filipina ini tertembak di Pamulang, Indonesia.

Apa yang terjadi di Filipina, seperti ditunjukkan contoh di atas, tentu sangat berbeda dengan ‘nasib’ teroris di Indonesia. Di negeri ini, otoritas kita tidak mau terburu-buru, apa lagi emosional, menyatakan bahwa teroris A adalah A, walaupun secar fisik kita sudah meyakini itu. Sehingga tidak heran menentukan dan mengidentifikasi tersangka bisa memakan waktu lama. Sample of references DNA untuk para DPO juga telah jauh-jauh hari diminta dari keluarga DPO.

Haruskah  Filipina Belajar Dari Indonesia?

Penulis kira Iya. Indonesia punya hubungan historis keterorisan dengan Filipina, utamanya saat Mindao dan sekitarnya sempat dijadikan pusat pelatihan kelompok teroris JI di camp Abu Bakar dan di pusaran intinya camp Hudaibiyah.

Untuk menghadapi kelompok Abu Sayaf yang saat ini dipimpin oleh tiga serangkai Hatib Hajan Sawadj, Radullah Sahiron dan Almujer Yadah, maka kita perlu mengedepankan kegiatan fungsi intelijen dalam surveillance dan investigasi mendalam. Jika hanya mengedepankan militer dengan kekuatan penuh namun tanpa dukungan informasi yang signifikan, bisa dipastikan upaya ini hanya akan berakhir pada kegagalan.

Ini seperti yang terjadi pada militer bataliyon infantri 41 Filipina seperti disebut di atas, menghadapi 80 grombolan teroris, mereka harus menelan kekalahan telak; 32 prajurit terluka parah. Komandan batalyon itu, Letnan Kolonel William George Cordova, juga terluka. Ia tidak sendirian, seorang komandan setingkat pleton, Letnan Joe Marie Landicho juga mengalami luka parah karena diserang menggunakan M 203 granade louncher, splinters dan shrapnel. Mereka memang sempat berkilah menanggapi kekalahan telak ini dengan mengatakan bahwa posisi kelompok Abu Sayyaf lebih menguntungkan, namun, bukankah militer lebih terlatih ? Di Indonesia misalnya, kasus-kasus penanganan terorisme sekelas Noordin M top, DR Azahari, Dulmatin, Mukhlas, Ali Imron, dll dapat diselesaikan dengan baik.

Tidak hanya berhasil melumpuhkan di medan perang, aparat negeri ini juga berhasil mendapatkan konfirmasi DNA berikut identifikasi lain sampai ke susunan geligi. Hal ini terjadi berkat matangnya unsur persiapan dan kemampuan aparat yang terlibat. Militer dilibatkan dalam situasi Beyond Police capacity dengan koordinasi yang sangat manis dan apik. Kasus penangan Santoso adalah salah satu contoh riil terakhir. Di mana aparat berhasil melakukan kerjasama yang baik untuk melumpuhkan salah satu pentolan teroris ini. Survey dilakukan oleh Intel polri (densus 88) bersama intel TNI, penyerbuan dilakukan oleh kostrat (TNI), lalu diserahkan ke pihak polisi untuk dilakukan otopsi untuk selanjutnya dilakukan cek DNA. Tidak lama kemudian, SP3  dan mayat diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan.

Hal ini tentu menjadi modal baik kita untuk terus percaya bahwa kita tidak pernah takut pada terorisme. Pengalaman penanganan kasus-kasus terorisme yang ada menjadi penguat untuk ini, karenanya kita pun berharap “baka patay na’”untuk DPO teroris lainnya.

MABUHAY..