“Di tanah airku, tak ada ruang untuk benci, hanya pelukan untuk damai…” — suara itu bergetar, namun lantang, keluar dari bibir seorang pelajar SMA di atas panggung. Hadirin terdiam, beberapa menunduk, menyerap makna tiap kata. Di ruangan itu, Wakil Gubernur Gorontalo Idah Syahidah Rusli Habibie tersenyum tipis. Ia tahu, inilah bentuk perlawanan yang paling indah: melawan radikalisme dengan seni dan sastra.
Suasana di Resto Rumah Marley, Kota Gorontalo, Selasa (12/8/2025) siang itu jauh dari tegang. Namun, di balik suasana hangat dan suara tawa pelajar, terselip pesan serius: radikalisme dan terorisme bisa datang kapan saja, bahkan menyasar generasi muda.
Pesan itu mengalir dalam Gelar Budaya Nusantara dan Lomba Membaca Puisi SUDARA (Suara Damai Nusantara) yang digelar Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Gorontalo. Hadir pula jajaran penting seperti Direktur Pencegahan BNPT RI Irfan Idris, perwakilan Densus 88 Anti Teror Polri Satgaswil Gorontalo Nugraha Chandra Lintang, dan Ketua FKPT Gorontalo Funco Tanipu.
Di tengah acara, Wakil Gubernur Gorontalo Idah Syahidah Rusli Habibie mengambil mikrofon. Dengan nada tegas namun penuh kehangatan, ia mengingatkan bahwa ancaman terorisme tak mengenal batas usia. “Ada kelompok yang bahkan melibatkan anak-anak,” ujarnya, menggeleng pelan.
Baginya, ceramah agama penting, tapi tak cukup. Ada cara lain yang lebih halus namun efektif: membentengi anak muda lewat seni dan budaya. Menurutnya, lewat puisi, lagu, dan tradisi, generasi muda bisa menumbuhkan rasa bangga pada jati diri bangsa, memelihara toleransi, dan merayakan perbedaan.
“Terorisme lahir dari ketidakmampuan menerima perbedaan. Seni dan sastra mengajarkan kita untuk melihat keindahan di sana,” katanya.
Idah kemudian berbagi kisah yang membekas. Suatu kali, ia memberikan bantuan kepada keluarga mantan teroris. Kepala desa menyarankan agar bantuan diletakkan di luar rumah. Namun, ia justru masuk, duduk, dan mengobrol. “Kalau kita tidak melakukan pendekatan, mereka akan terus dikucilkan. Padahal, mereka bagian dari kita,” ucapnya.
Kepada para pelajar, Idah berpesan untuk bijak menggunakan gawai, kritis menyaring informasi, dan menjaga rasa cinta tanah air—bahkan lewat kebiasaan sederhana seperti menyanyikan lagu nasional.
Acara pun ditutup dengan pekik lantang: “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Indonesia! NKRI harga mati!”
Dari 15 pelajar SMA dan 12 pelajar SMP yang tampil, tak ada yang sekadar membaca puisi. Mereka menyulap kata menjadi senjata damai, membuktikan bahwa seni tak hanya indah didengar, tapi juga ampuh melawan kebencian.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!